Zoreen Muhammad
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah telah melibatkan sekitar 2.700 UMKM sebagai pemasok bahan baku di 1.343 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di 28 provinsi, memastikan bahwa setiap dapur gizi memanfaatkan suplai lokal dan langsung menggerakkan roda perekonomian mikro, kecil, dan menengah. Dengan kebutuhan minimal 15 supplier per SPPG, aliran dana segar dari anggaran Rp 71 triliun pada tahun 2025 ini berputar nyata di tingkat desa hingga kota, menciptakan peluang pasar baru dan memperkuat ketahanan pangan.
Di Kabupaten Bandung, penyiapan 361 titik SPPG membuka pasar substansial bagi UMKM lokal. Proyeksi tambahan omset mencapai Rp 361 miliar pada tahun pertama, memantik geliat usaha di sektor pertanian, peternakan, pengolahan, hingga logistik. Selain berdampak langsung pada peningkatan pendapatan pemasok, gelombang penyerapan tenaga kerja juga terjadi: hampir 53.000 orang—mulai dari juru masak dan pengantar makanan hingga petugas pengemasan—terintegrasi dalam rantai pasok MBG secara nasional.
Lebih dari sekadar suplai bahan pangan, MBG menanamkan efek berganda ekonomi. Petani hortikultura dan peternak lokal diberdayakan melalui kemitraan strategis dengan Kementerian Pertanian dan lembaga mikrofinansial, sedangkan pelaku usaha pengolahan limbah mengonversi sisa makanan menjadi kompos atau pakan ternak. Inisiatif ini tidak hanya mengurangi pemborosan, tetapi juga menciptakan sumber pendapatan alternatif yang mendukung ekonomi sirkular.
Era digital kian memperkuat efektivitas dan transparansi rantai pasok MBG. Berbagai mitra, termasuk Muhammadiyah, menguji coba platform pemantauan real‑time yang melacak mulai dari pengadaan bahan hingga dampak gizi bagi penerima. Kemenkominfo dan Kemenkop UKM gencarkan pelatihan adopsi teknologi bagi puluhan ribu UMKM, menghadapi tantangan literasi dan infrastruktur jaringan, agar semua pelaku dapat terhubung dengan portal e‑procurement nasional.

Dukungan pembiayaan mikro bersubsidi dari pemerintah dan skema jaminan kredit digital juga diintensifkan. Melalui kerja sama dengan perbankan dan lembaga keuangan mikro, UMKM mendapatkan modal kerja untuk memenuhi kebutuhan produksi skala besar. Sosialisasi masif oleh Kemenkominfo memperluas literasi digital, sementara koperasi didorong menjadi katalis penyedia bahan baku dan distribusi, memperkokoh ekosistem ekonomi lokal.
Dalam kerangka kebijakan, Badan Gizi Nasional menyiapkan ASN khusus untuk memperkuat koordinasi dan evaluasi pelaksanaan MBG, serta merancang rancangan peraturan presiden agar landasan hukum program semakin kokoh. Dewan Ekonomi Nasional memberikan apresiasi tinggi terhadap dampak MBG dalam menciptakan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi, sekaligus merekomendasikan audit dan business process review untuk meningkatkan akuntabilitas.
Studi kasus di Sumedang menunjukkan bagaimana konversi limbah MBG menjadi pakan ternak dan kompos melibatkan UMKM pengelola limbah, menambah sumber pendapatan baru, serta mengembangkan konsep “desa mengitari kota”—poros ekonomi lokal yang menyuplai kota besar dengan rantai pasok pendek dan kearifan lokal.
Ke depan, analisis BRIN memproyeksikan kontribusi MBG terhadap PDB Indonesia mencapai sekitar Rp 13,06 triliun pada 2025. Literatur ekonomi internasional pun menilai intervensi ini sebagai stimulus multidimensi yang menghubungkan sektor pendidikan, kesehatan, dan ekonomi sekaligus. Dengan rencana perluasan hingga ke seluruh kecamatan dan integrasi govtech, MBG siap menjadi pilar ketahanan pangan sekaligus fondasi pertumbuhan ekonomi inklusif di masa mendatang.