Susu Anak, Gizi Anak, Tapi Kenapa Rasanya Seperti Permen?

Edith Razan

Buka satu kotak susu anak-anak rasa stroberi dari rak minimarket. Hirup baunya, dan coba seruput. Yang muncul pertama kali bukan rasa susu, tapi ledakan manis seperti permen karet cair. Lalu datang sedikit rasa stroberi sintetik, lalu lenyap. Susunya? Entah di mana. Tapi itu disebut “susu untuk anak”.

Begitulah realitas yang banyak orang tua hadapi tanpa sadar. Mereka mengira telah memberikan gizi lengkap dari susu UHT siap minum, karena kemasannya lucu, warnanya ceria, dan ada gambar anak ceria yang seakan tumbuh tinggi hanya karena minum itu. Tapi coba cek labelnya. Berapa gram gulanya? Kadang 12–15 gram per 180 ml. Itu setara tiga sendok teh. Bukan main.

Dan proteinnya? Tak sedikit yang cuma 2,4 sampai 2,8 gram per 100 ml. Padahal, susu segar seharusnya punya 3,2 gram. Jadi, kalau angka itu lebih rendah, bisa ditebak: susunya encer, atau malah bukan susu segar asli, melainkan campuran bubuk, air, dan aditif lain.

Ambil contoh merek yang digemari banyak anak: Milo UHT. Kemasannya hijau cerah, klaimnya penuh semangat, “Energi untuk Beraksi!”. Tapi di balik itu, kandungan susunya hanya sekitar 9–10%. Sisanya? Malt, gula, cokelat, dan air. Boleh jadi ini minuman enak, tapi kalau dikira susu? Jauh panggang dari sapi.

Atau susu Mimi Kids, rasa vanila atau cokelat. Proteinnya sekitar 2,6 gram, gulanya bisa 13 gram lebih per kemasan kecil. Bahan bakunya? Susu bubuk, air, pemanis, dan stabilizer. Susu segarnya sedikit, tapi rasa manisnya luar biasa. Cocok buat lidah anak-anak yang memang gampang ketagihan manis. Tapi apakah ini benar-benar “asupan gizi”?

Ironisnya, produsen kadang mencantumkan klaim seperti “mengandung vitamin dan mineral”, “membantu pertumbuhan”, atau “nutrisi lengkap”. Semua itu mungkin benar—secara teknis. Tapi apakah komposisi utamanya benar-benar susu? Tidak selalu. Banyak yang hanya “minuman rasa susu” dengan tambahan vitamin buatan. Rasa susunya sekadar embel-embel, bukan substansi.

Bahkan istilah “padatan susu” pun bisa menyesatkan. Padatan itu bisa datang dari susu bubuk, whey, atau laktosa. Bukan jaminan bahwa produk itu berasal dari susu segar. Dan istilah “susu UHT” pun tidak berarti bahwa isinya adalah susu murni—UHT hanyalah metode sterilisasi, bukan jaminan kualitas bahan baku.

Yang jadi masalah bukan hanya pada labelnya, tapi pada pola konsumsi yang dibentuk. Ketika anak rutin minum “susu rasa permen” setiap hari, kita tanpa sadar menanamkan kebiasaan konsumsi gula sejak dini. Anak tidak diajari menyukai rasa alami susu, tapi dibiasakan pada sensasi buatan. Efeknya bukan cuma ke gigi, tapi juga ke metabolisme, sensitivitas insulin, dan preferensi makan jangka panjang.

Ilustrasi kandungan gula berlebih dalam minuman kita (unsplash)

Masalah selanjutnya: karena sudah terbiasa minum susu rasa manis, anak jadi menolak susu segar yang tawar. Lidahnya sudah terlatih untuk mencari rasa manis yang intens. Dan ini bukan hal sepele. Riset menunjukkan, anak-anak yang terpapar minuman manis sejak kecil akan cenderung mengalami peningkatan risiko obesitas, resistensi insulin, dan gangguan pencernaan di usia lebih muda.

Sementara itu, para produsen terus berlomba menawarkan rasa baru. Kini tak hanya stroberi, cokelat, atau vanila. Ada varian bubble gum, marie biscuits, dan tiramisu. Susu? Ya, masih disebut susu. Tapi coba tanyakan pada tubuh kita—apa yang sebenarnya masuk ke dalam sistem metabolisme saat minum itu? Gizi, atau hanya kalori kosong?

Dalam skala lebih besar, ini juga jadi soal ekonomi pangan. Susu bubuk yang dicairkan itu lebih murah untuk diproduksi. Mudah dikemas. Umurnya panjang. Rasanya bisa dikendalikan. Maka tak heran jika produk-produk berbasis susu bubuk ini yang mendominasi rak minimarket. Bukan susu segar yang lebih murni, lebih sehat, tapi juga lebih mahal dan lebih cepat rusak.

Maka, ketika kita memberikan susu kotak ke anak, kita bukan hanya memberikan nutrisi. Kita juga memberi pesan: “Inilah rasa yang harus kamu sukai.” Kalau yang ditanamkan adalah rasa permen berselimut susu, jangan salahkan anak-anak kalau nantinya mereka tidak suka makanan yang sehat dan tawar.

Kita juga harus jujur: ini bukan hanya salah produsen. Mereka hanya menjawab permintaan pasar. Konsumen lah yang harus lebih jeli. Harus mau membaca label, membandingkan kandungan protein dengan kandungan gula, dan jangan gampang percaya dengan kemasan yang lucu dan janji manis iklan TV.

Jika ingin susu yang benar-benar bergizi, carilah yang proteinnya mendekati 3,2 gram per 100 ml, dan gulanya di bawah 8 gram per kemasan. Dan ya, ajak anak minum susu tanpa rasa. Mungkin awalnya mereka akan menolak. Tapi jika dilakukan konsisten, mereka bisa belajar menerima. Seperti dulu kita diajari makan sayur, walau awalnya ogah.

Mendidik lidah itu bagian dari mendidik pola hidup. Kalau tidak dari sekarang, lalu kapan?

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *