SPPG Sebagai Alat Ukur Gejolak Harga Sembako

Edith Razan

Di tengah gejolak harga pangan yang kerap memantik kekhawatiran bagi daya beli masyarakat, muncul gagasan SPPG (Sistem Pemantauan dan Pengelolaan Harga Pangan) sebagai terobosan “big data” untuk merekam pergerakan harga sembako secara real‑time dari ribuan titik di seluruh Indonesia — termasuk wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar). Dengan memadukan data pasar tradisional, modern, serta stok dan distribusi dari instansi pemerintah, SPPG diharapkan mampu menggantikan ketergantungan pada perhitungan manual dan data terpisah dari berbagai lembaga seperti PIHPS Bank Indonesia , SP2KP (Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok) Kemendag, hingga laporan BPS yang mulai mengintegrasikan web‑scraping data online . Ringkasan temuan utama menunjukkan bahwa integrasi multi‑sumber data bisa memberikan gambaran harga harian yang lebih lengkap, cakupan nasional termasuk 3T memungkinkan pemantauan merata, pemanfaatan big data dan AI mendukung prediksi gejolak harga, serta sinergi lintas kementerian mempercepat respons kebijakan.

Fluktuasi harga sembako acapkali memukul daya beli masyarakat, terutama golongan rentan. Data Bank Indonesia mencatat disparitas harga antara provinsi yang cukup besar, misalnya harga bawang merah di Papua dapat lebih tinggi hingga 15% dibanding Jawa Timur . Sementara itu, SP2KP Kemendag selama ini hanya memantau stok dan harga di “pasar pantauan” terbatas, tanpa jangkauan ke ratusan titik pedesaan dan wilayah 3T . Keterbatasan data ini mengakibatkan kebijakan terlambat dan kurang tepat sasaran, sehingga diperlukan sistem terpadu yang mampu menyediakan “data satu pintu” secara real‑time.

SPPG kita sadari rupanya dapat berfungsi sebagai sebagai platform big data yang mengumpulkan, menyimpan, dan memproses data harga sembako harian dari berbagai sumber: pasar tradisional melalui tim pencatat lapangan, pasar modern seperti supermarket dan minimarket, pedagang grosir dan produsen, serta data stok dan distribusi dari BPN, Bulog, dan Kementan. Arsitektur teknologinya ke depannya dipastikan mengandalkan proses ETL real‑time (extracting, transforming & loading data secara real-time)— mirip sistem scraping SOLAP (Secara Online Laporan Aset Pemerintah) RI yang dikembangkan untuk data komoditas — serta data warehouse dan OLAP (Online Analytical Processing) untuk menyimpan data historis dan mendukung analitik interaktif. Selain itu, API (Application Programming Interface) terbuka akan disediakan untuk akses instansi pemerintah maupun publik, meniru model PIHPS (Pusat Informasi Harga Pangan Strategis) Bank Indonesia , dengan dashboard visualisasi yang memperlihatkan peta sebaran harga, grafik volatilitas, dan sistem peringatan otomatis.

Dari sisi infrastruktur, rencana pembangunan minimal tiga titik SPPG di setiap kabupaten/kota, termasuk area 3T, didukung inisiatif pendirian “dapur SPPG” di wilayah terdepan, tertinggal, dan terluar . Dengan demikian, total titik pemantauan diperkirakan mencapai lebih dari 30 ribu lokasi, jauh melampaui 11 ribu titik awal SP2KP . Sumber data di lapangan melibatkan petugas SPPG — 55% di antaranya perempuan dan terlatih memerhatikan nilai gizi bahan pangan — serta scrapping data pasar online seperti yang dilakukan BPS untuk indeks harga daerah . Instansi mitra meliputi BI, BPS, Kemendag, Kemendesa, Kementan, Bulog, dan pemerintah daerah setempat.

Manfaat SPPG bagi kendali harga pangan sangat besar. Pertama, sistem deteksi dini gejolak harga dengan alarm otomatis memudahkan intervensi stok atau penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) sebelum lonjakan harga membebani konsumen. Kedua, data granular memungkinkan penetapan HET yang sesuai kondisi lokal sehingga kebijakan lebih tepat sasaran . Ketiga, transparansi publik meningkat karena warga dan pelaku usaha dapat memantau harga rata‑rata harian melalui aplikasi dan situs web. Keempat, data terpusat mendukung rapat koordinasi inflasi daerah CIPAR (Kemendag–Kemendagri–BPS) yang rutin digelar setiap Senin .

Tantangan implementasi SPPG terutama berkaitan dengan konektivitas di wilayah 3T, di mana infrastruktur internet masih terbatas sehingga memerlukan dukungan satelit dan mekanisme sinkronisasi offline. Selain itu, standarisasi format entri data menuntut pelatihan intensif bagi petugas agar kualitas data terjaga. Dari sisi pembiayaan, anggaran awal yang besar harus diprioritaskan dalam APBN, namun juga dapat dilengkapi melalui CSR BUMN . Terakhir, proteksi privasi dan keamanan data pelaku usaha serta identitas petugas harus diatur dengan ketat untuk mencegah penyalahgunaan.

Dengan kehadiran SPPG, Indonesia berpeluang meminimalkan ketergantungan pada data parsial dan respon kebijakan yang terlambat. Intervensi stok Bulog, penetapan HET, maupun program bantuan sosial dapat lebih presisi menargetkan wilayah dengan lonjakan harga di atas ambang batas. Model ini juga diharapkan memperkuat kedaulatan pangan, menjaga inflasi pangan di bawah target 3% per tahun, dan mengurangi disparitas harga antar‑wilayah. Melalui sinergi multi‑instansi, dukungan teknologi big data, dan komitmen membangun infrastruktur hingga pelosok 3T, Indonesia akhirnya dapat meraih kemandirian dalam mengatur harga sembako secara efektif dan berkelanjutan.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *