Fidela Almeira
Gula bukan sekadar rasa manis. Ia adalah mesin uang. Dan di Amerika, satu sendoknya bisa bernilai miliaran dolar. Tapi di balik keuntungan yang luar biasa, tersembunyi tragedi kesehatan publik yang dibayar dengan nyawa dan kualitas hidup jutaan orang. Sebab bisnis gula bukan hanya soal makanan, tapi sistem ekonomi yang sudah terlanjur dibangun di atas kebiasaan makan yang berbahaya.
Pasca Perang Dunia II, industri makanan di Amerika masuk era keemasan. Inovasi teknologi pangan berkembang pesat: pengalengan, pembekuan, dan produksi massal berkembang seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan populasi. Supermarket menggantikan pasar tradisional. Makanan instan dan olahan bukan lagi pilihan darurat, tapi gaya hidup. Dan di pusat semua produk itu: gula.
Gula adalah bahan paling murah untuk membuat makanan terasa enak, tahan lama, dan bikin ketagihan. Ia membuat biskuit lebih lembut, saus tomat lebih “gurih”, sereal lebih menarik untuk anak-anak, dan minuman ringan jadi booming. Tapi yang membuatnya benar-benar jadi primadona industri adalah fleksibilitas dan biaya rendahnya—terutama setelah penemuan dan komersialisasi high-fructose corn syrup (HFCS).
HFCS, si pemanis buatan dari jagung yang diproses secara kimia, muncul sebagai penyelamat bagi produsen makanan AS pada 1970-an. Mengapa? Karena pemerintah memberi subsidi besar-besaran pada produksi jagung sebagai bagian dari kebijakan pertanian nasional. Alhasil, jagung jadi murah meriah dan HFCS jauh lebih murah dari sukrosa (gula biasa). Produk olahan dari HFCS mulai membanjiri pasar mulai dari soda, roti, yogurt, bahkan salad dressing. Ini bukan lagi soal pemanis, tapi strategi bisnis untuk efisiensi biaya dan maksimalisasi keuntungan.
Tak heran jika Coca-Cola dan Pepsi dengan cepat beralih dari gula tebu ke HFCS. Satu perubahan formula ini saja menghemat jutaan dolar per tahun—dan tetap membuat konsumen kecanduan. Karena faktanya, fruktosa dalam HFCS mempercepat pelepasan dopamin di otak, menciptakan efek kenikmatan mirip candu ringan. Konsumen membeli lebih banyak, lebih sering, tanpa tahu bahwa tubuh mereka diprogram untuk menginginkan lebih.
Di saat yang sama, perusahaan makanan olahan seperti General Mills, Kraft, dan Kellogg’s ikut memanfaatkan “keajaiban gula” ini untuk mengubah sereal pagi hari menjadi permen terselubung. Produk yang dikemas dengan klaim “fortified with vitamins and iron” sebenarnya mengandung 30% gula atau lebih. Tapi selama regulator tak bertindak, dan publik belum menyadari permainan ini, semuanya sah-sah saja.
Dan memang, regulasi nutrisi di AS tidak pernah benar-benar melawan industri makanan. Bahkan ketika studi independen mulai menunjukkan hubungan langsung antara konsumsi gula dan obesitas, diabetes, serta penyakit jantung, FDA dan USDA tetap lambat dalam merespons. Lobi industri terlalu kuat. Kongres terlalu banyak berutang budi pada kampanye politik yang dibiayai para raksasa makanan.
Sementara itu, iklan makanan manis makin gencar. Targetnya? Anak-anak. Karena anak-anak bukan hanya konsumen, mereka adalah pencipta loyalitas merek sejak dini. Karakter kartun lucu, hadiah di dalam kemasan, dan jingle catchy jadi senjata ampuh untuk membentuk selera generasi berikutnya. Hasilnya? Pada akhir 1990-an, anak-anak di AS mengonsumsi rata-rata lebih dari 20 sendok teh gula tambahan setiap hari. Itu belum termasuk dari makanan tersembunyi seperti roti, saus, atau sosis.
Tapi inilah ironi terbesar: industri makanan Amerika tumbuh subur bukan di atas kebutuhan, tapi penciptaan kebutuhan. Mereka tak hanya menjual produk, mereka membentuk budaya makan. Dari “sarapan paling penting” hingga “snack sebagai reward”, semua narasi dibentuk untuk menanamkan konsumsi rutin terhadap makanan ultra-proses.
Data ekonomi membuktikan keberhasilan model ini. Nilai industri makanan olahan AS mencapai lebih dari 1 triliun dolar per tahun, dengan produk manis berkontribusi signifikan terhadap laba. Tapi bersamaan dengan itu, biaya kesehatan yang ditanggung masyarakat untuk menangani penyakit terkait gula (obesitas, diabetes, penyakit jantung) juga membengkak—diperkirakan mencapai 327 miliar dolar per tahun hanya untuk diabetes saja.

Dan siapa yang paling dirugikan? Keluarga berpenghasilan rendah. Mereka lebih mudah tergoda oleh makanan murah, instan, dan manis. Di lingkungan yang minim akses sayuran segar dan minim edukasi gizi, makanan ultra-proses jadi satu-satunya pilihan. Maka tak heran, anak-anak kulit hitam dan Latin di AS memiliki tingkat obesitas dua kali lipat dibanding anak kulit putih. Ini bukan sekadar isu gizi. Ini isu keadilan sosial.
Yang lebih tragis, ketika upaya perbaikan dilakukan—seperti rencana pajak soda atau pelabelan tambahan gula—industri langsung melawan. Kampanye melawan “sugar tax” dipimpin oleh asosiasi dagang dengan narasi bahwa itu membatasi kebebasan konsumen dan merugikan bisnis kecil. Bahkan kota-kota seperti New York yang mencoba membatasi ukuran soda dituntut dan dipatahkan di pengadilan.
Namun beberapa kota tetap melawan. Berkeley, Philadelphia, dan San Francisco memberlakukan pajak soda dan menunjukkan hasil positif. Konsumsi menurun. Kesadaran naik. Tapi itu hanya titik kecil dalam lautan manis yang masih mendominasi budaya makan Amerika.
Kita harus paham: satu sendok gula dalam sebuah produk bukan sekadar soal rasa. Itu adalah hasil dari strategi ekonomi, kebijakan pertanian, iklan psikologis, dan lobi politik. Gula bukan lagi bumbu, ia adalah simbol dari sistem yang mengorbankan kesehatan demi keuntungan.
Selama kita terus menganggap makanan hanya sebagai soal pilihan pribadi, industri akan terus mengendalikan apa yang kita pilih. Selama tidak ada reformasi sistemik dalam produksi, distribusi, dan edukasi makanan, gula akan terus menjadi pemenang diam-diam yang manis di lidah tapi pahit di tubuh.
Dan jangan kaget, jika nanti generasi mendatang memandang kita seperti kita memandang perokok zaman dulu—bingung, “kok bisa mereka anggap itu normal?”