Fidela Almeira
Tak ada orang tua yang menyangka bahwa bekal makan siang dari negara bisa berakhir di ruang IGD. Program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang semestinya menjadi simbol kepedulian negara terhadap tumbuh kembang anak-anak Indonesia, justru berubah menjadi mimpi buruk di sejumlah kecil titik ketika kasus keracunan makanan mulai mencuat. Dan ketika laporan demi laporan bermunculan—anak pingsan di kelas, muntah massal, bahkan dilarikan ambulans—pertanyaan paling penting pun muncul: siapa yang harus bertanggung jawab?
Dalam kerangka hukum, ini bukan sekadar masalah teknis distribusi. Ini menyangkut hak asasi anak atas makanan yang aman, tanggung jawab pemerintah dalam melindungi warganya, dan—yang sering terlupakan—kewajiban moral dan hukum negara untuk memberikan kompensasi kepada mereka yang dirugikan oleh program negara sendiri. Karena ketika gizi berubah menjadi risiko, keadilan tak bisa berhenti di investigasi.
Sayangnya, diskursus soal kompensasi di Indonesia kerap berjalan lambat, penuh birokrasi, dan seolah tabu. Dalam kasus keracunan di Cianjur, kita menyaksikan Kepala Badan BGN Dadan Hindayana cukup tanggap mengatasi persoalan ini, beliau hadir di titik lokasi bahkan memberikan kompensasi langsung dari kantong pribadinya. Walau, tentu saja kita butuh langkah-langkah preventif dan kuratif bila kejadian serupa terjadi kembali.
Di berbagai negara, skema kompensasi terhadap korban keracunan atau kegagalan program publik sudah menjadi keniscayaan. Korban tidak hanya diberi pengobatan gratis, tetapi juga dilibatkan dalam investigasi, diberikan ganti rugi, dan yang terpenting: diakui sebagai warga negara yang haknya telah dilanggar. Ini yang masih langka kita lihat di Indonesia.
Lihatlah kasus Minamata di Jepang. Tahun 1956, sebuah epidemi aneh terjadi: warga tiba-tiba lumpuh, kejang, bahkan meninggal dunia. Ternyata sumbernya adalah ikan yang tercemar merkuri dari limbah pabrik Chisso. Butuh puluhan tahun bagi negara dan korporasi untuk mengakui kesalahan mereka. Namun akhirnya, pengadilan memutuskan bahwa Chisso dan pemerintah Jepang harus membayar kompensasi kepada ratusan korban. Tak hanya uang, mereka juga membangun rumah sakit khusus, memberikan rehabilitasi, dan—yang terpenting—memulihkan martabat para korban yang selama ini dipinggirkan.
Begitu juga di India, kasus Bhopal pada 1984. Lebih dari 500.000 orang terdampak gas beracun dari pabrik Union Carbide. Setelah tekanan internasional dan perjuangan panjang, kompensasi sebesar USD 470 juta akhirnya diberikan. Meski dianggap tak cukup, setidaknya negara belajar bahwa korban tak bisa dibiarkan menanggung kerugian sendirian. Tidak ada program sebesar apapun yang bisa dimaafkan jika nyawa dan kesehatan rakyat menjadi korban.

Yang menarik, di Inggris, kasus Corby menjadi salah satu preseden penting di mana pemerintah lokal dijadikan pihak yang bertanggung jawab atas cacat lahir pada anak-anak akibat kelalaian pengelolaan limbah. Setelah lebih dari satu dekade perjuangan hukum, pengadilan memutuskan bahwa otoritas kota bertanggung jawab dan harus membayar ganti rugi. Ini menunjukkan bahwa dalam sistem demokrasi yang sehat, pemerintah pun bisa digugat ketika lalai.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia?
Kita masih berkutat pada siapa yang salah, siapa yang harus bicara dulu, siapa yang boleh menyalahkan. Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) sudah blusukan, tanggap pada masalah yang sebenarnya sangat kecil prosentasi kejadiannya dibanding yang mulus-mulus saja. Menteri Kesehatan turun ke lapangan. Tapi perdebatan tentang kompensasi bagi korban keracunan MBG belum sempurna untuk dieksekusi.
Padahal, kita bisa mulai dengan pertanyaan sederhana: jika seorang anak dilarikan ke rumah sakit akibat makanan dari program negara, tentu harus jelas ada prosedur siapa yang mengganti ongkos pengobatannya? Siapa yang bertanggung jawab jika ia mengalami trauma makan? Siapa yang memberi jaminan bahwa besok ia tak akan makan dari makanan yang punya problem yang sama?
Dalam kerangka keadilan restoratif, korban tak hanya butuh pengobatan, tapi juga pengakuan. Kompensasi menjadi bagian dari tanggung jawab negara, bukan semata bentuk belas kasihan. Dan di sinilah ruang kosong itu terlihat jelas. Kita tidak punya mekanisme cepat yang bisa diaktifkan ketika program negara menimbulkan korban. Kita tak punya sistem kompensasi berbasis hukum untuk kasus pangan publik.
Beberapa gagasan mulai dibahas di ruang akademik dan komunitas kebijakan. Ada yang mengusulkan dibentuknya Dana Kompensasi MBG, yang bersumber dari APBN, dan dikelola lembaga independen lintas kementerian. Dana ini bisa digunakan untuk penggantian biaya pengobatan, pemberian santunan sementara, hingga dukungan psikologis. Ada pula yang menyarankan untuk menyelenggarakan semacam asuransi.
Dalam konteks Indonesia, skema seperti ini bisa dilakukan dengan menambahkan klausul tanggung jawab sosial dan jaminan perlindungan bagi penerima manfaat. Atau, melalui kerjasama lintas lembaga: BGN, BPOM, Kemenkes, dan lembaga perlindungan anak bisa membuat Protokol Tanggap Insiden Pangan, yang di dalamnya termasuk penanganan korban dan skema ganti rugi.
Satu hal yang harus dihindari adalah menjadikan ini sekadar wacana. Waktu terus berjalan, anak-anak sudah kembali ke sekolah, sementara luka mereka belum tentu sembuh. Bahkan banyak di antaranya mungkin belum tahu apa yang membuat mereka keracunan. Jika negara serius ingin program MBG dipercaya, maka membangun sistem kompensasi adalah langkah penting agar masyarakat tahu bahwa ada mekanisme keadilan ketika terjadi kegagalan.
Penting pula dicatat, kompensasi bukan hanya soal uang. Ini juga soal transparansi informasi. Orang tua berhak tahu makanan dari vendor mana yang menyebabkan keracunan. Sekolah berhak tahu apa SOP yang harus dijalankan saat kejadian serupa terulang. Media berhak mengawasi pengadaan makanan tanpa harus dimusuhi. Dan korban, terutama anak-anak, berhak tahu bahwa negara tidak akan membiarkan mereka menjadi statistik dalam laporan bulanan.
Dalam tataran kebijakan, Indonesia memiliki UU Perlindungan Konsumen, UU Kesehatan, dan UU Perlindungan Anak. Semuanya bisa menjadi dasar hukum untuk membentuk regulasi pelengkap soal kompensasi korban keracunan MBG. Kita hanya butuh keberanian untuk merumuskan, dan kemauan untuk melaksanakan.
Lalu siapa yang sebaiknya menggagas ini? Tak perlu tunggu Mahkamah atau Presiden. BGN bisa mulai dengan menyusun pedoman internal. DPR bisa memanggil kementerian terkait untuk RDP khusus membahas kejelasan status hukum korban. Pemerintah daerah bisa mengeluarkan Surat Keputusan darurat untuk menangani kasus lokal. Bahkan, Ombudsman bisa memulai investigasi independen soal ini dan membantu BGN menyempurnakan prosedur internal MBG.
Yang jelas, keadilan tidak bisa ditunda. Dan seperti kata Eleanor Roosevelt, hak asasi manusia mulai dari hal-hal kecil—di rumah, di sekolah, di ruang makan siang. Jika negara gagal melindungi anak dari makanan yang seharusnya bergizi, maka negara gagal menjalankan fungsi dasarnya.
Saat ini, MBG sedang diuji bukan pada besar anggarannya atau luas cakupannya, tapi pada sejauh mana ia bisa menjamin keselamatan dan perlindungan bagi anak-anak Indonesia. Ketika gizi yang seharusnya jadi hak, berubah menjadi risiko, maka keadilan harus segera hadir. Dan salah satu bentuk keadilan itu adalah skema kompensasi yang manusiawi, transparan, dan bermartabat.