Prasmanan

Edhy Aruman

Pagi tadi, suasana grup WhatsApp keluarga mendadak riuh. Di antara notifikasi yang biasa-biasa saja, muncul satu kiriman yang membuat semua orang berhenti sejenak. Bukan pengumuman resmi, bukan kabar penting—hanya satu foto sajian nasi kuning lengkap dengan lauk-pauk yang tertata rapi, cantik, dan menggoda.

Tapi seperti sering terjadi dalam ruang digital, bukan kontennya saja yang membuatnya hidup, melainkan reaksi yang mengikutinya.

Kuliner Ahad Pagi, cocokkah?” begitu bunyi pesan pembuka.

Bancaan ta?” balas Bu Tati dengan cepat, setengah berharap, setengah bercanda.

Bukan Ning, cuma gambar thok,” tulis nomor tak tersimpan, membuyarkan angan sebagian yang sudah membayangkan aroma kunyit dan daun pisang.

Syukuran?” timpal yang lain, seolah ingin memastikan, barangkali memang ada acara yang terlewat.

Kirain mbak Tutik masak untuk makan siang gratis,” muncul lagi celetukan, disambut dengan tawa imajiner yang membaur dalam sunyi layar.

Terus undang-undang ya..,” tutup Pak Achmad, dengan gaya bercanda khasnya, menyulut gelombang nostalgia yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang pernah duduk melingkar di acara kenduri.

Di titik itu, makanan yang awalnya hanya muncul sebagai visual digital berubah menjadi pemicu memori kolektif. Mungkin tak ada satu pun dari mereka yang benar-benar mencium aromanya, tapi rasa—rasa dalam makna yang lebih dalam—sudah hadir di ruang itu.

Di balik sambel goreng ati, mie goreng, keripik kentang, dan telur suwir, tersembunyi ingatan tentang tangan-tangan yang menyuap dengan sabar, gelak tawa anak-anak yang berebut lauk favorit, dan bisikan doa yang diselipkan sebelum suapan pertama

Nasi kuning dalam tradisi ini bukan sekadar makanan utama, tapi simbol dari keberkahan, harapan, dan penghormatan terhadap sesuatu yang patut disyukuri. Setiap lauk yang menyertainya menyimpan peran: penyeimbang rasa, penguat tekstur, dan pengisi percakapan.

Makanan disusun untuk dibagikan, bukan untuk dipamerkan. Disajikan dalam bentuk kolektif, bukan individu. Itulah bentuk kasih yang paling praktis—dan paling membumi.

Mary Douglas (1972) pernah menyebut bahwa makanan adalah sistem komunikasi, dan susunan menu seperti ini tak lain adalah kalimat-kalimat sosial yang menyampaikan pesan tentang siapa kita, di mana kita berada, dan bagaimana kita terhubung satu sama lain.

Sementara Clifford Geertz (1960) menunjukkan bagaimana ritual seperti slametan atau kenduri menciptakan rasa stabil dalam kehidupan sosial yang berubah-ubah. Dalam konteks itu, sajian seperti ini adalah bentuk “upacara keheningan” yang tetap berlangsung, bahkan ketika hanya dipicu oleh sebuah unggahan di ruang virtual.

Tak penting siapa yang memasak. Tak jadi soal bahwa itu hanya “nyomot teko Yutub”. Karena yang muncul bukan hanya visual, tapi rasa kangen akan ruang bersama. Akan duduk melingkar. Akan kesah sederhana tentang hidup yang tak rumit, asal lauknya lengkap dan teh hangat menyusul. Yang datang dari dapur tak hanya aroma, tapi juga ketenangan.

Makanan ini, sebagaimana digambarkan oleh Mintz dan Du Bois (2002), adalah “arsip yang bisa dimakan.” Di dalamnya tersimpan sejarah, nilai, bahkan perasaan. Dan setiap kali seseorang berbagi, meski hanya secara virtual, ada sesuatu yang berpindah: bukan nasi, tapi ikatan. Bukan lauk, tapi kenanga.
Karena sejatinya, kuliner Nusantara tak pernah berdiri sendiri. Ia selalu hadir bersama—dan untuk yang lain.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *