Edith Razan
Gula itu candu. Tapi siapa yang bilang? Bukan label gizi, bukan iklan cereal anak-anak, dan tentu bukan laporan dari perusahaan minuman ringan. Tapi justru para peneliti independen yang selama bertahun-tahun bersuara lirih di balik gemuruh promosi “low-fat, high-sugar lifestyle” yang digemari industri.
Masalahnya, penelitian nutrisi selama puluhan tahun telah dikuasai oleh sponsor. Coca-Cola, Pepsi, Nestlé, bahkan lembaga seperti Corn Refiners Association, dikenal rutin menyuntik dana ke proyek-proyek akademik. Maka tak mengherankan jika riset-riset yang menyimpulkan “gula tak seburuk itu” seringkali disponsori oleh pihak yang berkepentingan menjual gula dalam segala rupa.
Tapi di balik itu, ada dunia riset yang berjalan dalam sunyi. Penelitian yang bebas konflik kepentingan. Penelitian yang tak dibayar oleh siapa pun kecuali oleh dana publik atau lembaga-lembaga nirlaba. Dan hasilnya? Jelas: korelasi antara konsumsi gula, terutama gula tambahan, dengan obesitas, diabetes tipe 2, gangguan metabolik, dan bahkan depresi.
Sebuah studi monumental dari UCSF tahun 2016 membongkar bukti bahwa Sugar Research Foundation (SRF) pada 1960-an sengaja membiayai peneliti Harvard untuk menyalahkan lemak dan menutupi peran gula dalam penyakit jantung. Studi itu diterbitkan di New England Journal of Medicine—tanpa mencantumkan sumber pendanaan. Lima puluh tahun kemudian, kita baru tahu permainan di balik layar. Dan celakanya, warisan kebohongan itu masih kita telan hari ini, dalam bentuk snack “rendah lemak” tapi sarat gula.
Penelitian independen dari Dr. Robert Lustig, ahli endokrinologi anak di UCSF, memperlihatkan bahwa gula—terutama fruktosa—memicu resistensi insulin, peningkatan lemak hati, dan sindrom metabolik, bahkan jika konsumsi kalori dijaga tetap sama. Dalam studinya, anak-anak obesitas yang mengganti asupan gula dengan makanan berkalori sama tapi tanpa tambahan fruktosa, menunjukkan perbaikan drastis dalam profil kesehatan hanya dalam 10 hari. Berat badan mereka tak berubah. Tapi tekanan darah, kadar insulin, dan fungsi hati membaik signifikan. Artinya jelas: bukan cuma soal kalori. Ini soal apa yang dimakan.
Hal ini mematahkan mitos lama yang mengatakan “semua kalori itu sama”. Kalori dari protein, lemak sehat, dan karbohidrat kompleks bekerja sangat berbeda dibanding kalori dari gula sederhana seperti sukrosa atau HFCS. Tapi tentu saja, mitos ini masih didengungkan karena sangat menguntungkan bagi industri. Selama masyarakat berpikir obesitas adalah “salah pribadi yang makan terlalu banyak dan malas bergerak”, maka perusahaan bebas terus memasarkan makanan ultra-proses.
Jurnal BMJ pada 2013 menerbitkan analisis sistematis yang meninjau lebih dari 30 penelitian terkait gula dan berat badan. Kesimpulannya: mereka yang mengurangi asupan gula mengalami penurunan berat badan yang signifikan, bahkan tanpa diet ketat. Sebaliknya, peningkatan konsumsi gula hampir selalu diikuti dengan kenaikan berat badan. Dan yang menarik, studi-studi yang melibatkan sponsor industri hampir dua kali lebih sering melaporkan “tidak ada kaitan signifikan” dibandingkan studi yang independen.
Penelitian dari World Health Organization (WHO) memperkuat sinyal ini. Pada 2015, WHO secara resmi merekomendasikan agar gula tambahan tidak lebih dari 10% dari total energi harian. Bahkan, untuk manfaat maksimal, disarankan hanya 5%. Itu artinya sekitar 25 gram gula per hari untuk orang dewasa—setara dengan satu kaleng soda. Tapi dalam realitas, rata-rata warga AS mengonsumsi hampir 3–4 kali lipat dari angka itu. Dan di situlah masalah bermula.
Penelitian dari Harvard School of Public Health tahun 2012 menunjukkan bahwa satu porsi minuman manis per hari meningkatkan risiko diabetes tipe 2 sebesar 26%. Risiko ini tetap tinggi bahkan setelah disesuaikan dengan berat badan dan gaya hidup lainnya. Studi ini menjadi rujukan banyak kota di AS saat mulai memberlakukan pajak soda. Tapi tentu saja, kebijakan ini langsung diserang balik oleh asosiasi minuman dan pengusaha besar.

Masalahnya bukan hanya pada minuman. Gula disembunyikan dalam lebih dari 70% makanan kemasan. Dari roti tawar, saus tomat, hingga makanan bayi. Nama-nama pemanis dibuat kabur: malt syrup, cane juice, barley malt, invert sugar, dan sebagainya. Label “no added sugar” pun sering disiasati dengan menambahkan jus buah pekat atau sirup alami yang tetap saja tinggi fruktosa.
Studi dari American Journal of Clinical Nutrition pada 2017 menunjukkan bahwa anak-anak yang mengonsumsi tinggi fruktosa dari makanan olahan memiliki tingkat lemak hati dan tekanan darah yang lebih tinggi—dua indikator awal penyakit jantung dan diabetes di masa depan. Ini bukan lagi tentang estetika tubuh gemuk atau kurus, ini tentang beban penyakit kronis yang menghancurkan generasi sejak dini.
Riset-riset independen juga mengkritisi pendekatan kebijakan gizi nasional yang selama ini setengah hati. Seringkali panduan gizi hanya disusun berdasarkan “konsensus” yang sudah dimoderasi lobi industri. Ini berbeda dengan pendekatan berbasis evidence yang tegas menyatakan risiko-risiko dari gula berlebih.
Di luar AS, studi dari Meksiko menunjukkan bahwa setelah penerapan pajak soda pada 2014, konsumsi minuman berpemanis turun hampir 12% pada tahun pertama dan terus menurun. Ini berdampak signifikan terutama pada kelompok berpendapatan rendah yang paling rentan terhadap obesitas. Jadi kebijakan berbasis sains bisa berhasil—asal berani.
Sayangnya, suara ilmuwan independen seringkali kalah nyaring dibandingkan jingle iklan dan kekuatan finansial korporasi. Dalam sistem pasar bebas, produk yang paling menggiurkan di lidah dan menguntungkan kantong tetap jadi pemenang. Bahkan bila itu artinya mengorbankan kesehatan masyarakat secara massal.
Namun perlahan, perubahan mulai terlihat. Sekolah mulai melarang minuman manis, rumah sakit mengganti menu pasien, supermarket menyediakan rak “bebas gula tambahan”. Tapi upaya ini harus terus didorong dan dipertajam. Sebab riset yang jujur dan bebas konflik kepentingan bukan hanya soal angka statistik, tapi tentang masa depan jutaan anak yang tak tahu bahwa roti isi mereka mengandung lebih banyak gula dari sebatang cokelat.
Maka jika kita bertanya “apa kata sains tentang gula dan obesitas?”, pastikan dulu siapa yang bicara. Sebab di dunia nutrisi, kebenaran sering kali tergantung siapa yang membayar.