Zoreen Muhammad
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) bukan saja upaya pemerintah menjamin gizi anak-anak, ibu hamil, dan menyusui, melainkan juga wahana kebangkitan industri lokal. Di balik setiap nampan stainless steel —yang akrab disebut “ompreng” —terdapat keseluruhan rantai nilai mulai dari tambang nikel di Sulawesi hingga proses stamping di pabrik-pabrik di Jawa. Artikel ini menyorot bagaimana ompreng menjadi instrumen strategis dalam mempercepat hilirisasi nikel dan menyerap tenaga kerja, sekaligus menambah nilai ekonomi domestik secara signifikan.
Sejak larangan ekspor bijih nikel mentah pada 2020, Indonesia menata ulang peta industrialisasi berbasis sumber daya alam. Kawasan smelter dan pengolahan stainless steel di Morowali dan Weda Bay berkembang pesat, menghasilkan coil SS 304 yang kemudian diolah menjadi berbagai produk hilir. Salah satu produk konsumer yang mendapat sorotan adalah ompreng MBG, di mana kapasitas produksi coil harus didukung oleh fasilitas stamping dan finishing lokal agar kebutuhan jutaan unit tray dapat terpenuhi.
Pada tingkat nasional, kebutuhan ompreng untuk 1.080 titik SPPG dengan asumsi 3.000 tray per titik mencapai 3,24 juta unit. Dengan berat rata‑rata 0,7 kg per keping, total material stainless steel yang dibutuhkan mencapai 2.268 ton. Jika harga bahan baku coil SS 304 ditetapkan Rp 30.000 per kilogram, maka nilai bahan baku saja adalah Rp 68,04 miliar. Setelah melalui proses rolling, cutting, stamping, dan finishing—dengan markup rata‑rata 60 %—nilai material final untuk tray ompreng mencapai sekitar Rp 108,86 miliar.
Dari sisi tenaga kerja, setiap titik SPPG mempekerjakan tiga staf manajemen (SPPI/BGN) dan 40 tenaga operasional. Total SDM yang terlibat langsung dalam jaringan ini berjumlah 46.440 orang. Dengan gaji rata‑rata Rp 5 juta per bulan untuk staf dan Rp 2 juta per bulan untuk tenaga operasional, biaya upah per bulan mencapai Rp 102,6 miliar, atau sekitar Rp 1,23 triliun per tahun. Jika dijumlahkan dengan nilai material, total kontribusi ekonomi domestik dari rantai ompreng ini hampir menembus Rp 1,34 triliun per tahun.
Angka‑angka tersebut mengilustrasikan dua fungsi utama ompreng dalam perekonomian: pertamakali, sebagai penggerak hilirisasi nikel yang menambah nilai tambah berlapis; kedua, sebagai penyerap tenaga kerja di berbagai tingkatan, mulai dari tambang, smelter, hingga pabrik stamping. Hilirisasi memungkinkan bijih nikel bernilai rendah di tambang diubah menjadi produk konsumer dengan margin tinggi sebelum akhirnya masuk ke kantin sekolah.
Secara backward linkage, industri ompreng memerlukan kelangsungan pasokan nikel laterit, investasi infrastruktur tambang, pelabuhan, dan pembangkit energi di sekitarnya. Sementara dari sisi forward linkage, tray ompreng mendorong tumbuhnya sektor logistik, distribusi, perawatan peralatan, hingga bisnis laundry peralatan makan di lingkungan sekolah dan posyandu. Dengan demikian, ekosistem industri ini menyerap tenaga kerja tidak hanya di pabrik, tetapi juga di sektor jasa pendukung.
Lebih jauh lagi, keterlibatan IKM lokal dalam tahap pemotongan dan finishing tray menumbuhkan jaringan usaha menengah ke bawah. Banyak pengrajin logam yang dulunya bekerja skala kecil kini mampu meningkatkan kapasitas dan kualitas produksi dengan dukungan pembiayaan murah dan pelatihan teknis. Program MBG menjadi katalisator perubahan, memaksa adaptasi teknologi stamping, welding, dan standardisasi mutu agar dapat memenuhi permintaan massal.
Peran ompreng sebagai instrumen kebijakan sosial-ekonomi juga menunjukkan sinergi yang efektif antara kementerian terkait. Kemenperin dan Kemenkes bersama-sama merancang spesifikasi teknis tray, sedangkan Kemenkeu dan BUMN menyediakan alokasi anggaran serta mekanisme penyerapan produk lokal. Hasilnya, tender penyediaan ompreng tidak hanya memprioritaskan harga, tetapi juga tingkat kandungan lokal dan penciptaan lapangan kerja.
Namun tantangan ke depan tetap signifikan. Fluktuasi harga nikel global dan kebutuhan energi hijau untuk proses smelting menuntut inovasi efisiensi dan adopsi teknologi rendah emisi. Selain itu, ketergantungan pada satu program sosial bisa menimbulkan risiko penurunan permintaan saat kebijakan bergeser. Oleh karena itu, pengembangan pasar baru—seperti peralatan rumah sakit, militer atau kebutuhan ekspor—menjadi opsi strategis agar industri ompreng tidak hanya tumbuh sesaat.
Secara keseluruhan, ompreng MBG adalah contoh konkret bagaimana produk sederhana dapat memicu efek multiplier ekonomi yang luas. Dari nilai material hingga upah pekerja, total nilai yang dihasilkan hampir mencapai Rp 1,34 triliun per tahun, mencerminkan kekuatan hilirisasi nikel berupa stainless steel dalam menumbuhkan industri manufaktur dan lapangan kerja. Dengan pemeliharaan kebijakan yang konsisten dan dukungan inovasi, ompreng akan terus memasak pertumbuhan ekonomi Indonesia ke meja makan generasi mendatang.