Zoreen Muhammad
Dalam beberapa pekan terakhir, kasus keracunan massal melibatkan ratusan siswa sekolah dasar di berbagai daerah dan mengguncang kepercayaan publik terhadap program ini. Alih-alih berlindung di balik birokrasi atau saling menyalahkan, Badan Gizi Nasional (BGN) di bawah kepemimpinan Dadan Hindayana justru mengambil langkah cepat dan konkret. Mulai dari kunjungan langsung ke lokasi terdampak, pemberian bantuan medis, evaluasi sistem distribusi, hingga pembahasan kompensasi bagi para korban, BGN menunjukkan bahwa negara hadir bahkan dalam situasi sulit.
Tidak seperti banyak pejabat yang memilih menyampaikan simpati dari balik meja, Dadan Hindayana turun langsung ke lapangan. Ia menemui korban keracunan di rumah sakit, berbicara dengan keluarga, dan memberi bantuan pengobatan. Sikap seperti ini memberi pesan kuat bahwa krisis bukan hanya angka dalam laporan, tetapi menyangkut nyawa dan masa depan anak-anak yang sedang tumbuh. Di tengah kecemasan yang dirasakan orang tua dan sekolah, kehadiran pejabat tinggi membawa harapan sekaligus bentuk tanggung jawab.
Langkah lain yang patut diapresiasi adalah keterbukaan informasi. Saat banyak lembaga cenderung defensif ketika dikritik, BGN justru memilih untuk menjelaskan secara terbuka penyebab insiden. Dadan Hindayana menyebut dua faktor utama: bahan baku berkualitas rendah dan proses pengolahan yang belum memadai. Di Sukoharjo, misalnya, masakan terganggu karena dapur kehabisan gas. Di Palembang, menu ikan tongkol ternyata tidak cocok bagi sebagian siswa. Di Bogor, hasil laboratorium menemukan bakteri E. coli dan Salmonella pada makanan yang dikonsumsi.
Keterbukaan semacam ini penting untuk memperbaiki sistem. Dari pemahaman publik yang lebih jelas, solusi pun dapat disusun bersama. BGN langsung merespons dengan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap SPPG—dapur penyedia MBG. Salah satu langkah tegas diambil terhadap Yayasan Bosowa Bina Insani di Bogor, setelah 223 siswa mengalami keracunan. Operasional SPPG tersebut dihentikan sementara untuk audit penuh, mencakup rantai pasok, metode pengolahan, hingga prosedur distribusi. Dalam program berskala nasional seperti MBG, satu titik lemah dapat menjalar luas. Maka keputusan ini adalah bentuk keberpihakan pada keselamatan siswa.
BGN juga memperkuat prosedur standar operasional. Setiap dapur kini wajib melakukan uji organoleptik—menilai rasa, aroma, tampilan, dan tekstur makanan sebelum dikirim ke sekolah. Distribusi juga harus lebih dekat ke jam makan untuk mencegah kontaminasi akibat penyimpanan yang terlalu lama. Pesannya jelas: MBG bukan proyek biasa. Setiap tahap harus dikelola dengan cermat, dan setiap pihak yang terlibat wajib menjunjung tinggi keamanan pangan.
Tak hanya berhenti di perbaikan teknis, BGN juga mulai menjajaki skema kompensasi bagi korban. Meski saat ini belum ada mekanisme resmi, upaya sedang dilakukan agar negara dapat memberi bentuk tanggung jawab yang sah dan bermakna. Bahkan, ada wacana agar ke depan MBG dilengkapi skema asuransi khusus, meski jenis produk semacam itu masih belum tersedia. Langkah ini bukan semata urusan ganti rugi, melainkan bagian dari membangun keadilan sosial. Bahwa negara tidak hanya hadir saat memberi, tapi juga saat harus meminta maaf.
Upaya ini juga melibatkan kerja sama lintas kementerian. Salah satunya adalah kolaborasi dengan Kementerian Komunikasi dan Digital dalam kegiatan edukasi di Pondok Pesantren Al Baghdadi, Karawang. Literasi gizi digabung dengan literasi digital—dua kompetensi penting bagi generasi masa depan. Pendekatan ini menunjukkan bahwa MBG tak hanya soal distribusi makanan, tapi bagian dari ekosistem pembangunan manusia yang lebih luas.
BGN juga tak alergi kritik. Laporan dari KPAI, Ombudsman, dan BPOM diterima secara terbuka. Bahkan persoalan teknis seperti tunggakan pembayaran di Tasikmalaya atau peran pengawasan BPOM diakui secara jujur. Solusinya langsung disusun: mempercepat pencairan dana kepada dapur mitra dan melibatkan lebih aktif lembaga pengawas dalam skema evaluasi dan akreditasi. Sikap seperti ini jarang ditemukan dalam birokrasi, dan menjadi bukti bahwa lembaga baru seperti BGN tidak sekadar membangun sistem, tapi juga kepercayaan.

Krisis adalah cermin sejati kepemimpinan. Dan dalam kasus ini, BGN memilih untuk tidak menyembunyikan retakan, melainkan memperbaikinya satu per satu. Tentu belum semua masalah selesai. Mekanisme kompensasi perlu segera difinalisasi, pengawasan di sekolah-sekolah harus diperkuat, dan penyedia yang tak mampu memenuhi standar harus diganti atau dibina. Namun setidaknya, publik kini melihat bahwa negara tidak diam. Bahwa dalam krisis, ada institusi yang berdiri di garis depan dengan keberanian dan tanggung jawab.
Program Makan Bergizi Gratis bukan sekadar janji politik, tetapi bagian dari upaya membangun bangsa. Dalam perjalanannya, tantangan pasti datang. Namun justru di situlah kita bisa menilai kualitas kepemimpinan. Dadan Hindayana dan timnya di BGN telah memberi contoh bagaimana kebijakan dijalankan dengan hati, keberanian, dan komitmen. Dan selama semangat ini terus hidup, MBG punya harapan untuk menjadi tonggak baru dalam sejarah kebijakan pangan nasional—yang tak hanya memberi makan, tapi juga merawat masa depan.