Kau Berarti Bagiku

Edhy Aruman

Kadang kita mengira bahwa makanan hanya soal rasa atau pengisi perut. Tapi jika diperhatikan lebih dalam, makanan ternyata menyimpan aturan-aturan sosial yang halus namun kuat. Mary Douglas, seorang antropolog terkemuka, mengajak kita melihat bahwa makanan adalah bagian dari sistem simbolik yang mengatur dan mencerminkan relasi sosial dalam masyarakat.

Melalui pengamatannya atas pola makan sehari-hari, ia membedakan dengan tajam antara minuman dan makanan. Minuman, katanya, adalah untuk orang asing, kenalan, atau pekerja; sedangkan makanan hangat dan lengkap adalah untuk keluarga, sahabat, atau tamu terhormat.

Mary Douglas (1921–2007) adalah antropolog sosial asal Inggris yang terkenal karena analisisnya terhadap budaya dan simbol dalam kehidupan sehari-hari. Ia menunjukkan bahwa makanan, kebersihan, dan ritual bukan sekadar aktivitas biasa, tapi cerminan dari struktur sosial dan batas antarindividu.

Dalam esainya “Deciphering a Meal“, Douglas menyoroti bagaimana makanan mengatur keintiman dan jarak sosial, menjadikan setiap sajian sebagai penanda hubungan dan status dalam masyarakat.

Dengan kata lain, makanan menyatakan siapa yang diterima dalam lingkaran keintiman, dan siapa yang masih berada di luar. Menyajikan makan malam lengkap kepada seseorang bukan hanya bentuk keramahan, tetapi juga pernyataan simbolik: “Kau berarti bagiku.” Gagasan ini menjadi sangat relevan ketika kita melihat fenomena yang lebih luas, seperti program makan bergizi gratis. Di permukaan, ini tampak seperti kebijakan nutrisi semata. Namun dari sudut pandang sosial dan budaya, program ini memuat makna yang lebih dalam.

Ketika negara menyajikan makanan kepada anak-anak sekolah, ibu hamil, atau kelompok rentan lainnya, ia sedang menyampaikan pesan: “Kamu penting. Kamu bagian dari kami. Kamu tidak sendiri.”

Negara sedang menggeser batas keintiman itu ke dalam ruang publik—membangun relasi simbolis antara warga dan institusi melalui sesuatu yang sangat manusiawi: makanan.

Namun seperti yang dikatakan Douglas, bukan hanya isi piring yang penting, tetapi juga bagaimana dan dalam suasana apa makanan itu disajikan. Apakah anak-anak menerima makanannya dengan duduk rapi, dalam suasana menyenangkan, dengan rasa dihargai?

Ataukah sekadar menerima bungkusan tergesa-gesa yang lebih menekankan pada kecepatan daripada makna? Di sinilah makanan berperan bukan hanya sebagai pengisi gizi, tetapi juga sebagai alat pembangun martabat.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *