Gizi untuk Negeri: Peran MBG dan SPPG dalam Ketahanan Nasional

Fidela Almeira

Di era sekarang, kekuatan sebuah negara tidak lagi hanya soal senjata, pesawat tempur, atau jumlah pasukan. Ketahanan sebuah bangsa ditentukan oleh seberapa siap rakyatnya menghadapi krisis dari berbagai sisi—fisik, mental, sosial, dan ekonomi. Karena itu, konsep pertahanan semesta menjadi sangat relevan, di mana semua elemen bangsa ikut terlibat, termasuk dalam hal yang sering luput dari sorotan: gizi.

Selama ini, urusan gizi sering dianggap sebagai tanggung jawab ibu-ibu di dapur atau urusan anak-anak sekolah. Padahal, dalam situasi darurat—seperti bencana alam atau konflik—akses terhadap makanan bergizi adalah hal yang sangat krusial. Masyarakat yang kekurangan gizi jadi lebih rentan terhadap penyakit, lebih lemah secara mental, dan sulit menjaga ketenangan. Sebaliknya, masyarakat yang bergizi baik bisa bertahan lebih kuat dan tetap berpikir jernih.

Melalui program Makan Bergizi Gratis (MBG), pemerintah tidak hanya ingin mengatasi stunting atau kemiskinan pangan, tapi juga membangun strategi ketahanan nasional yang lebih luas. MBG dirancang bukan hanya untuk masa damai, tapi juga siap digunakan dalam kondisi darurat. Dalam situasi ketika distribusi makanan terganggu, pasar tidak berfungsi, atau pasokan tersendat, negara harus bisa hadir cepat. Di sinilah Sarana Pengolahan Pangan Gizi (SPPG) menjadi penting.

SPPG adalah fasilitas pengolahan makanan yang bisa memproduksi ribuan porsi makanan siap saji bergizi dalam waktu singkat. Mirip dengan dapur lapangan militer, tapi dirancang untuk kebutuhan sipil dalam skala besar. Kelompok yang disasar pun beragam: anak-anak, ibu hamil, lansia, penyandang disabilitas, hingga warga umum yang terdampak bencana. SPPG memastikan bahwa saat krisis datang, makanan bergizi tetap tersedia dan cepat sampai ke tangan mereka yang membutuhkan.

Keunggulan SPPG bukan cuma pada kemampuannya memasak dalam jumlah besar, tapi juga pada sistem distribusinya yang terhubung ke jaringan nasional dan lokal. Dalam kondisi darurat, makanan dari SPPG bisa disalurkan lewat kerja sama dengan TNI, relawan, ormas, hingga pemerintah daerah. Bahkan, bahan pangan yang digunakan berasal dari petani, nelayan, dan UMKM lokal, sehingga sambil memperkuat ketahanan pangan, ekonomi lokal pun ikut bergerak.

Pengalaman masa pandemi menjadi pelajaran besar. Banyak keluarga kesulitan mendapat makanan bergizi karena distribusi terhambat. Bantuan pangan pun sering kali hanya berupa mi instan atau makanan kaleng yang miskin zat gizi. Jika sistem MBG dan SPPG sudah berjalan saat itu, negara bisa hadir dengan cara yang lebih sehat dan bermartabat—memberikan makanan yang bukan cuma mengenyangkan, tapi juga menyehatkan.

Sebuah truk yang digunakan sebagai logistik bahan pangan di Portugal (unsplash)

Begitu juga dalam bencana-bencana besar seperti gempa Palu, tsunami Aceh, atau erupsi Semeru. Dalam kondisi seperti itu, kecepatan dan kualitas bantuan makanan sangat menentukan. Sering kali, logistik lambat dan makanan yang datang tidak sesuai kebutuhan. SPPG, yang bersifat desentralistik dan fleksibel, memungkinkan negara menjangkau lokasi bencana lebih cepat, tanpa menunggu perintah pusat. Ini bukan cuma soal logistik, tapi soal rasa hadirnya negara di tengah rakyat.

Dalam konsep pertahanan semesta, peran sipil sama pentingnya dengan militer. Gizi adalah bagian dari kekuatan non-militer yang sangat strategis. Di tengah ancaman perang modern atau konflik hibrida, serangan bisa datang dalam bentuk gangguan logistik dan distribusi pangan. Karena itu, kesiapsiagaan di sektor ini harus jadi bagian dari sistem pertahanan nasional.

Memang, membangun dan menjalankan sistem MBG dan SPPG butuh kerja sama lintas sektor. BGN, Kemenkes, Kemensos, Kemhan, hingga pemerintah daerah harus bersinergi. SDM di SPPG pun perlu pelatihan khusus, mulai dari manajemen logistik, tanggap darurat, hingga pemahaman dasar soal gizi. Pembiayaan juga harus terus berjalan meski sedang tidak ada bencana, supaya sistem ini selalu siap digunakan kapan saja. Latihan dan simulasi darurat pun perlu dilakukan agar semua pihak benar-benar siap ketika krisis datang.

Namun, semua tantangan itu bisa diatasi jika semua pihak serius dan mau terlibat. Dari pemerintah pusat hingga komunitas lokal, dari TNI hingga koperasi, semua bisa ambil peran dalam produksi dan distribusi makanan bergizi. Ketahanan nasional jadi bukan lagi milik tentara saja, tapi jadi urusan bersama.

Indonesia negara besar dan kaya. Tapi tanpa sistem logistik gizi yang kuat, kekayaan itu bisa lumpuh saat krisis terjadi. Kita tak boleh lagi gagap saat bencana datang atau konflik terjadi. Dengan membangun sistem logistik gizi nasional yang tangguh, negara bisa merespons cepat, menyelamatkan lebih banyak nyawa, dan menjaga semangat kebersamaan. Inilah bentuk pertahanan yang manusiawi dan bermartabat.

Karena hari ini, dapur bukan cuma tempat memasak. Dapur adalah benteng. Diam-diam, ia menjaga bangsa tetap berdiri. Negara yang bisa mengatur gizinya adalah negara yang siap menghadapi segala situasi. Karena pertahanan yang paling dasar adalah memastikan rakyat tidak kelaparan, tetap sehat, dan selalu punya harapan.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *