Zoreen Muhammad
Setiap kali bencana melanda atau konflik meletus, perhatian kita sering kali langsung tertuju pada kerusakan fisik—jalan yang hancur, listrik padam, rumah sakit lumpuh. Tapi ada satu dampak yang lebih senyap namun tak kalah mematikan: krisis gizi. Dalam situasi darurat, makanan bukan cuma soal kenyang, tapi soal hidup dan mati. Kekurangan zat gizi bisa membuat sistem imun masyarakat jatuh, membuka peluang munculnya penyakit menular, hingga memperparah kondisi medis yang ada. Di sinilah peran Sarana Pengolahan Pangan Gizi (SPPG) dan program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi kunci. Ia bukan sekadar alat bantu sosial, tapi bagian penting dari tameng pertahanan kesehatan nasional.
Tubuh manusia dalam keadaan stres dan krisis butuh asupan gizi yang lebih spesifik—bukan sekadar nasi dan lauk seadanya. Protein, zat besi, vitamin A, dan berbagai mikronutrien lainnya penting untuk menjaga daya tahan, mempercepat pemulihan, dan mencegah komplikasi. Bayangkan seorang balita yang tinggal di pengungsian pascabencana selama berminggu-minggu tanpa makanan yang cukup bergizi. Risiko terkena diare, infeksi saluran napas, bahkan kematian bisa meningkat drastis. Kehadiran SPPG yang mampu menyediakan makanan siap saji bergizi seimbang, dari karbohidrat hingga mikronutrien, jadi pelindung vital agar bencana tidak berubah menjadi tragedi ganda: bencana fisik dan bencana kesehatan.
Dampak jangka panjang dari malnutrisi darurat pun sangat serius. Anak-anak yang gagal tumbuh di bawah usia dua tahun berpotensi mengalami gangguan perkembangan otak permanen, yang akhirnya menurunkan kapasitas belajar dan produktivitas saat dewasa. Jika ini terjadi dalam skala besar, produktivitas nasional bisa turun 2 hingga 3 persen per tahun. Maka, intervensi cepat dalam bentuk makanan bergizi bukan cuma penyelamatan jangka pendek, tapi juga investasi besar dalam kualitas sumber daya manusia dan daya saing bangsa.
Beberapa negara sudah lebih dulu menerapkan konsep serupa. Jepang punya dapur darurat nasional dengan standar medis yang bisa diaktifkan dalam 24 jam. Swedia melatih warga sipil untuk mengelola dapur krisis dengan modul sanitasi dan formulasi gizi. Sementara Filipina masih bergantung pada bantuan impor, yang sering tertunda karena kendala birokrasi. Indonesia melalui SPPG dan MBG memilih jalur yang lebih adaptif: membangun jaringan dapur tersebar di daerah-daerah, dengan distribusi yang melibatkan TNI, Polri, BPBD, dan komunitas lokal. Ini membuat sistem Indonesia jauh lebih tangguh dan cepat merespons krisis.
Pendekatan ini juga mendapat apresiasi dari para ahli. Dr. Amelia Hartono dari Universitas Indonesia menilai standar gizi dalam paket MBG sudah memenuhi acuan WHO, termasuk kandungan kalori dan mikronutrien yang padat. Prof. Johan Salim dari IPB menekankan pentingnya menu yang berbasis bahan lokal, supaya mudah diterima masyarakat dan minim limbah. Sementara Letjen (Purn.) Bambang Suharno melihat potensi MBG sebagai bagian dari strategi non-tempur, semacam “operasi makanan” yang menjaga moral prajurit dan warga sipil sekaligus.
Tentu ada tantangan. Dana operasional SPPG harus terus mengalir di masa damai agar tidak mati suri. SDM-nya juga perlu terus dilatih, dan koordinasi antar-lembaga harus makin solid. Tapi jika semua itu bisa dijaga, maka MBG dan SPPG bukan hanya program bantuan biasa. Mereka adalah bagian dari sistem pertahanan sipil. Mereka adalah tameng gizi nasional—yang tidak hanya menyelamatkan nyawa, tapi juga menjaga daya tahan tubuh rakyat, dan pada akhirnya, menjaga stabilitas negara dari dalam saat krisis datang tak terduga.