Energi untuk Anak-anak Kita: Apa Jadinya Jika MBG Digerakkan Gas Temuan Sendiri

Edith Razan

Bayangkan sebuah skenario sederhana. Di sebuah sekolah dasar di pelosok Indonesia, dapur MBG (Makan Bergizi Gratis) menyala seperti biasa. Petugas memasak ribuan porsi makan untuk anak-anak. Kompor mereka menyala dengan LPG 12 kg, tidak berbeda dari rumah-rumah tangga lain. Tapi ada satu hal yang tidak biasa: gas dalam tabung itu bukan hasil impor. Gas itu berasal dari bawah laut kita sendiri—dari temuan besar 10 TCF cadangan gas di Aceh.

Di tengah hiruk-pikuk program makan gratis yang sedang meluas ini, mungkin hanya sedikit yang mengaitkan urusan dapur dengan urusan geopolitik energi. Tapi keduanya terhubung lebih dalam dari yang kita kira. Saat satu unit SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi) memasak 3.000 porsi makanan per hari, mereka menggunakan sekitar 146.730 meter kubik gas alam per tahun. Kalikan saja dengan 83.000 unit dapur yang dibutuhkan untuk menjangkau 83 juta anak—hasilnya adalah konsumsi gas tahunan yang sangat besar: 12,18 miliar m³.

Temuan gas 10 TCF di Blok South Andaman—setara 283 miliar m³ gas—dengan efisiensi 85% bisa menghasilkan sekitar 240 miliar m³ gas siap pakai. Jika seluruh kebutuhan MBG dialirkan dari sini, maka cadangan ini bisa menghidupi seluruh dapur SPPG selama hampir 20 tahun penuh, tanpa menambah satu liter pun impor.

Apa artinya? Artinya energi untuk memberi makan anak-anak Indonesia ada di tangan kita sendiri. Tidak perlu jaringan pipa rumit. Tidak perlu kilang futuristik. Cukup dengan tetap memakai tabung LPG 12 kg seperti biasa, asal isi gasnya berasal dari pengolahan domestik, bukan kapal tanker dari luar negeri.

Selama ini, Indonesia masih mengimpor sekitar 6,89 juta ton LPG setiap tahun, dengan nilai mencapai Rp60 triliun. Sebagian besar dipakai untuk kebutuhan rumah tangga, UMKM, dan sektor komersial—termasuk dapur besar seperti SPPG. Meski SPPG tidak menerima subsidi langsung, mereka tetap menyedot pasokan dari rantai distribusi nasional yang sesak dan mahal.

Tabung-tabung gas sedang didistribusikan di sebuah tempat di Hongkong (unsplash)

Nah, bayangkan jika tabung-tabung di dapur MBG diisi dari gas hasil temuan kita sendiri. Beban impor turun. Tekanan terhadap APBN berkurang. Dan yang lebih penting, kita menyuapi anak-anak kita dengan energi milik kita sendiri.

Ini bukan sekadar penghematan fiskal, tapi juga pesan moral: bahwa negara hadir bukan hanya dengan memberi makan, tapi dengan memastikan bahwa makanan itu diolah dengan energi yang tidak menyedot kekayaan nasional ke luar negeri. Bahwa dapur sekolah bukan sekadar tempat memasak, tapi juga pos terdepan kedaulatan energi.

Dan, ya, semua ini bisa dimulai tanpa mengubah cara kerja dapur. Tidak perlu mengonversi ke gas pipa atau hidrogen. Tidak perlu menunggu PLTG canggih di belakang sekolah. Cukup pastikan bahwa kilang nasional kita menyerap gas dari laut sendiri dan mengalirkannya ke tabung-tabung nonsubsidi yang sudah akrab di tangan para juru masak MBG.

Pemerintah sudah punya skema besar untuk menjangkau 83 juta anak melalui MBG. Tapi pertanyaan berikutnya adalah: energinya dari mana? Kalau jawabannya adalah “dari luar negeri”, maka kita sedang menyusun rencana makan gratis dengan pondasi yang rapuh. Tapi jika jawabannya adalah “dari gas nasional kita sendiri,” maka MBG bukan cuma soal gizi—tapi soal keberlanjutan, efisiensi, dan kedaulatan.

Karena memberi makan anak bangsa bukan cuma urusan isi piringnya, tapi juga siapa yang menyalakan kompornya.

Dan sekarang kita tahu: kompor itu bisa menyala dari gas milik kita sendiri—berkat satu hal yang kini terdengar makin penting di telinga kita: 10 TCF temuan cadangan gas.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *