Edith Razan
Tragedi keracunan massal yang menimpa ratusan siswa di Kota Bogor pada 7 Mei 2025 akibat Program Makan Bergizi Gratis (MBG) mengguncang kepercayaan publik terhadap upaya pemerintah dalam memenuhi kebutuhan gizi anak sekolah. Setelah gejala pertama muncul pada Rabu pagi, lebih dari 220 siswa dari jenjang TK hingga SMA melaporkan mual, muntah, dan diare usai mengonsumsi makanan yang disiapkan oleh Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Bosowa Bina Insani. Hasil uji laboratorium Labkesda Kota Bogor pada 10 Mei 2025 mengonfirmasi keberadaan bakteri Escherichia coli dan Salmonella pada sampel menu MBG—dugaan utama penyebab keracunan.
Ironi terletak pada niat baik program MBG, yang diluncurkan untuk menanggulangi stunting dan meningkatkan konsentrasi belajar, namun berbalik menjadi ancaman kesehatan. Data awal menunjukkan makanan disiapkan pada dini hari dan dikirim ke 12 sekolah tanpa sistem cold chain yang memadai. Makanan yang tidak dipanaskan atau didinginkan kembali sebelum dikonsumsi menyajikan kondisi ideal bagi bakteri berkembang biak dalam waktu beberapa jam.
Kegagalan menjaga standar sanitasi dapur penyedia MBG menjadi titik lemah pertama. Banyak fasilitas dapur belum menerapkan prosedur kebersihan sesuai pedoman BPOM, sementara pelatihan keamanan pangan bagi tenaga dapur berjalan sporadis. Ketika distribusi skala besar dilakukan setiap hari, celah sekecil apapun dalam proses pengolahan atau penanganan akan berdampak luas.
Distribusi dan penyimpanan makanan tanpa pengawasan suhu juga terbukti fatal. Proses transportasi puluhan kilometer memerlukan kendaraan berpendingin atau kotak isolasi suhu; namun sebagian besar logistik MBG berjalan tanpa fasilitas tersebut, bahkan beberapa paket disimpan di ruang kelas tanpa pemanas atau pendingin.
Lemahnya sistem monitoring dan audit memperburuk insiden ini. Inspeksi mendadak oleh tim BGN atau Dinas Kesehatan Kota Bogor jarang dilakukan, memberi ruang bagi penyedia untuk menutupi kondisi sebenarnya. Mekanisme pelaporan di sekolah juga terlambat: gejala siswa baru dikeluhkan secara resmi setelah ratusan terpapar dan kondisi memburuk.
Respon pemerintah yang lamban terlihat saat penetapan status Kejadian Luar Biasa (KLB) baru dilakukan pada 11 Mei 2025, setelah laporan kasus menembus angka 200. Padahal, deteksi dini dan mitigasi sejak gejala pertama dapat menyelamatkan banyak korban dari dampak lebih serius.
Insiden Bogor harus menjadi momentum reformasi total program MBG oleh Badan Gizi Nasional (BGN). Pertama, SOP MBG perlu direformulasi secara komprehensif, mulai dari pemilihan bahan baku, proses pengolahan, distribusi, penyimpanan, hingga penyajian di sekolah, sesuai standar BPOM dan Codex Alimentarius FAO/WHO.
Kedua, sertifikasi dan pelatihan keamanan pangan bagi tenaga dapur MBG wajib diintensifkan. BGN dapat bermitra dengan lembaga pelatihan kuliner dan Dinas Kesehatan untuk menyelenggarakan kursus, ujian, dan evaluasi berkala, memastikan setiap individu memiliki pengetahuan mutakhir tentang sanitasi, kontrol suhu, dan penanganan bahan mentah.
Ketiga, audit dan inspeksi independen harus diperkuat. BGN perlu membentuk tim pengawas mandiri yang melakukan inspeksi acak setiap bulan, dengan hasil audit dipublikasikan untuk memastikan akuntabilitas.
Keempat, adopsi teknologi cold chain lebih luas. Investasi pada kendaraan berpendingin, kotak isolasi suhu, dan sensor suhu digital—yang memantau suhu distribusi secara real time—akan meminimalkan risiko pertumbuhan bakteri selama transportasi.
Kelima, sistem pelaporan insiden dan protokol tanggap darurat di sekolah harus disederhanakan. Setiap sekolah penerima MBG wajib memiliki petugas kesehatan terlatih yang dapat melaporkan gejala keracunan melalui jalur langsung ke Dinas Kesehatan dan BGN, sehingga penanganan medis cepat dilakukan.
Selanjutnya, keterlibatan orang tua dan komunitas sangat penting. BGN bisa membentuk “Komite Gizi Sekolah” di tiap sekolah, melibatkan guru, perwakilan orang tua, dan petugas kesehatan untuk mengawasi kualitas layanan MBG.
Terakhir, digitalisasi dan transparansi data menjadi kunci pemulihan kepercayaan publik. BGN perlu mengembangkan portal nasional yang menampilkan data real time tentang jumlah porsi, menu harian, hasil inspeksi, dan laporan insiden MBG. Dengan begitu, semua pemangku kepentingan dapat memantau langsung kondisi layanan gizi gratis di sekolah.
Perbaikan menyeluruh program MBG bukan hanya soal mengolah makanan, melainkan tanggung jawab kolektif dalam sistem kesehatan publik. Tragedi keracunan di Bogor membuktikan bahwa niat baik tanpa eksekusi yang cermat, protokol ketat, dan budaya transparansi, hanya akan menjadi bencana yang merugikan mereka yang seharusnya dilindungi. Dengan reformasi serius dan implementasi langkah-langkah ini, program MBG dapat kembali menjadi harapan bagi jutaan anak Indonesia, bukan ancaman yang menimbulkan luka.