Dari Isu Keracunan hingga Sistem Akreditasi: Menata Ulang Jaminan Mutu Makan Bergizi Gratis

Zoreen Muhammad

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi andalan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dirancang bukan sekadar untuk memenuhi hak dasar anak-anak, tapi sebagai fondasi jangka panjang dalam pembangunan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Namun, sejak awal pelaksanaannya, program ini menghadapi tantangan serius. Insiden keracunan makanan di sejumlah daerah mencuat ke permukaan dan mengubah antusiasme publik menjadi kekhawatiran. Publik mulai mempertanyakan: apakah makanan yang dibagikan benar-benar aman? Bagaimana pengawasan dilakukan di ribuan dapur penyedia?

Berbagai kasus tersebut membuka mata banyak pihak bahwa dalam program sebesar MBG, belum ada sistem jaminan mutu yang menyeluruh dan seragam. Produksi makanan dalam skala besar dan waktu yang terbatas membuat potensi kontaminasi sangat tinggi. Banyak SPPG atau dapur penyedia makanan MBG beroperasi dengan fasilitas terbatas, dari dapur sewaan hingga kurangnya peralatan standar, bahkan ada yang belum mengantongi sertifikasi halal. Kondisi seperti ini memicu munculnya kejadian-kejadian yang tak diharapkan.

Sebagai respon terhadap situasi tersebut, pemerintah melalui Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, menyatakan bahwa mulai tahun 2025 seluruh SPPG harus mengikuti proses akreditasi oleh lembaga independen. Skema ini disusun bersama Komite Akreditasi Nasional (KAN) dan mencakup sejumlah aspek, mulai dari kelayakan dapur, standar kebersihan dan pengolahan makanan, keamanan bahan baku, sistem distribusi, hingga pelatihan tenaga kerja. Tak hanya itu, sertifikasi halal dan sistem pelaporan yang akuntabel juga menjadi bagian penting dalam penilaian.

Langkah ini bukan sekadar administrasi, tapi bentuk komitmen pemerintah untuk menghadirkan standar mutu yang terukur dan transparan. Dengan penilaian oleh pihak luar, integritas proses lebih terjaga, bebas dari konflik kepentingan internal. SPPG juga menerima dana publik dalam jumlah besar, antara Rp8 hingga Rp10 miliar setiap tahunnya, yang digunakan untuk pembelian bahan baku, membayar tenaga kerja, serta distribusi makanan ke sekolah-sekolah. Maka sangat wajar jika negara menuntut akuntabilitas tinggi atas pengelolaan anggaran tersebut.

Dalam proses akreditasi, berbagai aspek teknis diperiksa secara mendalam. Mulai dari infrastruktur dapur seperti kelayakan alat masak, ventilasi, dan sistem limbah, hingga prosedur penyimpanan dan pengemasan makanan. Legalitas usaha, sertifikasi halal, dan kepatuhan terhadap standar kesehatan lingkungan juga menjadi indikator. Bahkan pelatihan untuk juru masak, pengawas mutu, dan staf logistik masuk dalam evaluasi. Bagi SPPG yang belum memenuhi standar, diberikan waktu untuk memperbaiki diri. Namun jika tetap tidak lolos, mereka bisa dihapus dari daftar resmi penyedia MBG.

Aktivitas seeorang Chef memakai tutup kepala dan masker di sebuah dapur (unsplash)

Anak-anak sekolah berada di usia yang sangat rentan, dan asupan gizi yang buruk bisa berdampak jangka panjang. Bukan hanya sekadar keracunan atau sakit sementara, tapi bisa mengganggu perkembangan otak, menurunkan daya tahan tubuh, hingga memperparah risiko stunting dan wasting. Oleh karena itu, jaminan mutu dalam MBG adalah kunci utama keberhasilan program. Tanpa pengawasan yang ketat, misi besar ini bisa kehilangan arah. Akreditasi menjadi langkah konkret untuk memastikan bahwa setiap makanan yang disajikan bukan hanya layak konsumsi, tetapi juga aman dan bergizi.

Apa yang semula merupakan reaksi atas insiden, kini diarahkan menjadi inovasi sistemik. Akreditasi memperkuat pendekatan preventif, di mana pengawasan tidak lagi bergantung pada laporan masyarakat, tetapi menjadi bagian dari sistem rutin dan terstruktur. Lebih jauh lagi, SPPG yang telah terakreditasi bisa berkembang menjadi pusat layanan gizi yang lebih luas, tidak hanya dalam konteks MBG. Mereka berpotensi menjadi dapur tanggap darurat saat bencana, pusat pelatihan kuliner sehat, bahkan mitra petani lokal dalam menyerap hasil panen.

Pada akhirnya, insiden keracunan memberi pelajaran berharga bahwa program sebesar MBG tidak cukup hanya didasari niat baik. Ia membutuhkan sistem pelaksanaan yang kuat dan bertanggung jawab. Pemerintah lewat BG

N telah menunjukkan keseriusannya—bukan sekadar memberikan makanan, tapi menghadirkan kualitas yang pantas bagi masa depan anak-anak Indonesia. Karena di balik setiap nasi kotak yang sampai ke tangan siswa, tersimpan harapan dan masa depan sebuah bangsa.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *