Edith Razan
Tak banyak program pemerintah yang bisa menyentuh dapur rakyat dan sekaligus menghidupkan dompet warga. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dicanangkan pemerintahan baru memang menjanjikan satu hal: anak-anak sekolah dasar makan siang gratis. Tapi ternyata, efeknya jauh lebih panjang dari sekadar perut kenyang. Di balik piring nasi anak-anak itu, ada denyut ekonomi baru yang mulai tumbuh. Dan kalau ditelusuri lebih dalam, salah satu penggerak utamanya adalah Bank Rakyat Indonesia.
Ya, BRI tidak sedang membagikan bantuan. Bukan pula sekadar membuka loket kredit di kantor cabang. Yang mereka lakukan jauh lebih strategis: mereka menyusup ke seluruh ekosistem program MBG, menyentuh satu per satu aktor ekonomi lokal—dari pekerja SPPG yang bertugas menyiapkan makanan, koperasi desa yang menyuplai bahan baku, hingga dapur masak yang dibiayai lewat skema kredit khusus berbasis jaminan negara.
Tak banyak yang menyadari, bahwa dapur MBG bisa menjadi aset kredit. Bukan hanya di atas lahan milik sendiri, tapi juga di atas lahan sewa. Bahkan dengan risiko minimum, karena skema angsuran disesuaikan dengan jadwal pembayaran imbal jasa oleh negara. Artinya, negara tak hanya menjamin distribusi gizi, tetapi juga menjamin arus kas pelaku usaha mikro. Dan BRI tahu persis cara membacanya.
Mereka menyusun produk kredit investasi (KI) untuk pembangunan dapur. Kalau lahan milik sendiri, mudah. Jaminan lengkap: tanah dan bangunan. Tapi kalau sewa? BRI tetap hadir. Mereka minta kontrak notariil, mewajibkan rekening escrow, dan mengikat klausul yang adil antara pemilik lahan dan penyewa. Bahkan bila terjadi wanprestasi, hak sewa bisa dialihkan tanpa drama hukum. Skema ini bisa dibilang miniatur project finance ala desa.
Yang lebih mengejutkan lagi, para pengelola dapur—yang selama ini tak dianggap sebagai pelaku ekonomi utama—sekarang punya nilai ekonomi yang jelas. Mereka bisa mengakses kredit. Mereka bisa mengangsur pinjaman. Dan mereka punya penghasilan rutin yang dijamin oleh sistem negara. Itu semua terjadi karena BRI mau turun tangan bukan sebagai penonton, tetapi sebagai arsitek keuangan.
Tapi BRI tak berhenti di dapur. Mereka masuk ke koperasi, ke yayasan, ke Bumdes, ke UMKM. Seluruh mitra SPPG yang terlibat dalam pengadaan bahan makanan, diajak onboarding ke sistem pengadaan digital pemerintah (LKPP). Itu bukan proses gampang. Tapi BRI menyediakan pendampingan, membuka rekening penampungan, dan menjamin bahwa setiap transaksi berjalan dalam sistem formal. Artinya: koperasi yang dulu hanya berputar-putar di pasar lokal, kini bisa menjadi supplier resmi dalam ekosistem nasional.
Proses ini melibatkan banyak orang. Mantri, RM SME, dan tenaga pemasar dari BRI turun langsung ke lapangan. Mereka bukan sekadar menjual produk. Mereka melakukan mapping—mencatat siapa saja yang terlibat, berapa kapasitas produksi mereka, apa hambatannya, dan bagaimana mereka bisa masuk ke sistem. Ini adalah kerja kolektif yang jarang dilakukan oleh lembaga keuangan besar.
Sementara di sisi lain, para pekerja SPPG—mayoritas perempuan, Non-ASN, dan sebelumnya tak tersentuh lembaga keuangan—kini mendapatkan akses penuh ke sistem perbankan. BRI membuka rekening payroll untuk mereka, memberi akses BRImo, bahkan menawarkan kredit konsumtif seperti Briguna dan KPR. Dengan corporate ID khusus (PIS 13492), pekerja dapur yang selama ini tak punya slip gaji, sekarang bisa punya histori keuangan yang valid.
Apa yang terjadi? Satu program makan bergizi tiba-tiba membuka pintu inklusi finansial massal. Sekali lagi: bukan karena ada program pelatihan, bukan karena CSR, tapi karena sistemnya memang dibangun untuk itu. Karena BRI membaca peluang ini bukan sebagai proyek sosial, tetapi sebagai ekosistem ekonomi yang bisa tumbuh secara organik—asal didampingi dengan baik.
Tak hanya itu. Sekolah-sekolah penerima MBG pun disentuh. Guru dan staf TU dibuatkan rekening payroll. Aktivasi QRIS dan BRIVA dilakukan di lingkungan sekolah dan dapur. Bahkan warung dan supplier kecil yang terlibat dalam penyediaan bahan makanan pun diarahkan untuk menerima pembayaran digital. BRI sedang membangun ekosistem tanpa uang tunai yang dimulai dari urusan makan siang anak-anak. Dan ini bukan ilusi. Ini sedang berlangsung, di puluhan ribu titik.
Model seperti ini sulit ditemukan dalam program sosial lain. Biasanya, bantuan diberikan, habis, lalu hilang. Tidak ada bekas, tidak ada ekosistem yang tertinggal. Tapi dalam MBG, karena BRI masuk, sistemnya berubah. Setiap titik pengeluaran negara menjadi titik pemasukan pelaku ekonomi lokal. Dan karena semua masuk ke sistem formal, maka tercipta rekam jejak, yang pada akhirnya menciptakan kreditabilitas.

Inilah yang disebut inklusi finansial sejati. Bukan sekadar membuka rekening, tetapi mengubah pola pikir masyarakat bahwa mereka adalah bagian dari sistem ekonomi yang dihitung, dihargai, dan diberi akses.
Yang lebih hebat, semuanya ini dilakukan secara business to business. Tidak ada dana yang digelontorkan secara hibah. Semua adalah transaksi, semua berbasis kebutuhan nyata, dan semua ditopang oleh aliran dana dari negara yang telah dipastikan lewat kontrak kerja. BRI hanya menjadi katalis. Tapi katalis yang aktif, sistemik, dan punya daya jangkau luar biasa.
Mungkin inilah momen paling relevan untuk merefleksikan ulang fungsi lembaga keuangan milik negara. BRI membuktikan bahwa perbankan bisa dan harus menjadi penggerak pembangunan. Bukan hanya pembiaya proyek-proyek besar di kota, tapi juga penggerak ekonomi rakyat di dapur-dapur desa. Bukan sekadar pencetak laba, tapi penyulam rantai nilai dari gizi anak hingga dompet ibu-ibu pekerja dapur.
Saat negara menyuplai makanan, BRI menyuplai alat dan sistem agar semua yang terlibat mendapat nilai tambah. Ini bukan sinergi basa-basi. Ini adalah orkestrasi ekonomi berbasis sosial yang rapi dan bertahap.
BRI tahu benar bahwa ekosistem MBG itu bukan soal makan siang. Ini soal produktivitas. Soal bagaimana subsidi bisa berubah jadi investasi. Dan investasi berubah jadi ekonomi lokal yang bergulir. Dan pada titik tertentu, BRI akan tetap hadir ketika MBG sudah mapan: karena semua pelakunya sudah jadi nasabah yang mandiri.
Program MBG tidak bisa berdiri sendiri. Ia membutuhkan tulang punggung sistem keuangan yang mau bekerja lintas sektor, lintas desa, dan lintas batas formalitas. Dan di sinilah BRI tampil beda. Mereka tidak menunggu proposal. Mereka turun, mapping, mengukur, dan menjahit semua jadi satu sistem kerja yang bisa ditumbuhkan.
Maka tak heran, kalau sekarang ada koperasi desa yang dulunya hanya melayani tabungan 10 ribuan, kini bisa jadi penyedia sayur dan telur bagi ribuan siswa. Atau petani jagung yang dulunya menjual ke tengkulak, sekarang bisa menyalurkan langsung ke dapur MBG karena sudah terdaftar di e-katalog. Semua itu terjadi bukan karena kebetulan. Tapi karena BRI memberi mereka peta jalan.
Jadi kalau hari ini kita bicara MBG sebagai program nasional, jangan hanya bicara soal anak-anak yang kenyang. Lihat juga bagaimana BRI mencetak peluang ekonomi dari dapur ke desa, dari rekening ke rekening, dari gizi ke kredit. Karena dalam setiap piring makan siang, ada putaran uang yang sedang membentuk ekonomi baru.
Dan itulah kenapa, MBG dan BRI bukan sekadar kolaborasi. Tapi sudah layak disebut sebagai model pembangunan sosial-ekonomi paling progresif hari ini.