Fidela Almeira
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah sebagai langkah strategis untuk meningkatkan kualitas gizi anak-anak sekolah di Indonesia kini berada di persimpangan jalan. Digadang-gadang sebagai terobosan untuk mengatasi persoalan malnutrisi di kalangan pelajar, pelaksanaan program ini justru menyimpan segudang masalah. Mulai dari teknis distribusi hingga sistem pengawasan yang belum matang, semuanya memunculkan tantangan yang jika tak segera diatasi, justru bisa menjadi blunder yang merusak kepercayaan publik terhadap niat baik pemerintah.
Salah satu sorotan tajam datang dari Ombudsman Republik Indonesia yang menemukan berbagai penyimpangan di lapangan. Yang paling mencolok adalah munculnya praktik-praktik percaloan dalam bentuk yayasan fiktif atau semi-fiktif yang “bergentayangan” di sekitar program MBG. Fenomena ini merujuk pada pihak-pihak yang membentuk yayasan hanya demi bisa menjadi mitra penyedia makanan, bukan karena kepedulian terhadap kualitas gizi anak-anak. Mereka memanfaatkan celah regulasi dan keterbatasan anggaran untuk mengambil untung, sering kali tanpa memiliki infrastruktur yang memadai atau kapabilitas menyelenggarakan layanan makan sehat yang layak.
Kehadiran calo-calo yayasan ini bukan hanya sekadar gangguan administratif, melainkan ancaman serius terhadap keberlanjutan program. Banyak kasus di mana para mitra dapur tidak menerima pembayaran sesuai kesepakatan, karena dana dipotong atau dimanipulasi oleh yayasan perantara. Ada dapur yang mengaku rugi hingga ratusan juta rupiah karena pembayaran tidak diterima penuh. Dalam satu kasus, mitra dapur bahkan terpaksa menghentikan operasional karena keuangan mereka tak lagi mampu menanggung beban produksi tanpa kejelasan pembayaran dari yayasan pengelola.
Dampak dari praktik ini sangat terasa di lapangan. Bukan hanya soal keterlambatan distribusi makanan, tetapi juga terkait kualitas makanan yang diberikan kepada anak-anak sekolah. Sudah ada beberapa laporan kasus keracunan makanan yang diduga berasal dari makanan yang disediakan oleh mitra MBG. Dalam insiden tertentu, kepala sekolah dan beberapa murid mengalami gejala muntah dan diare setelah menyantap makanan MBG. Peristiwa semacam ini tidak bisa dianggap sepele, sebab menyangkut kesehatan anak-anak dan kredibilitas program nasional.
Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) mengakui bahwa program ini memang diluncurkan dalam keterbatasan. Belum ada anggaran resmi dari APBN ketika program dimulai, sehingga banyak proses yang harus dijalankan dengan dana talangan dan sistem pembayaran tunda. Celah inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh para calo yayasan untuk menawarkan jasa sebagai perantara pendanaan, tapi dengan konsekuensi pemotongan anggaran dan ketidakjelasan kontrak.
Masalah kian kompleks ketika yayasan-yayasan tersebut enggan menyampaikan transparansi besaran anggaran kepada mitra dapur. Bahkan, dalam beberapa kasus, mereka menyatakan mengikuti arahan pemerintah, tapi menolak menyebutkan berapa sebenarnya dana yang dikelola dan dialokasikan untuk produksi makanan. Kondisi ini menyebabkan kebingungan dan ketimpangan antara dapur pelaksana dan yayasan pemegang dana.
Pemerintah melalui BGN tidak tinggal diam. Dalam beberapa bulan terakhir, sejumlah langkah perbaikan mulai diupayakan. Salah satunya adalah perubahan skema pembayaran dari sistem tunda ke sistem uang muka. Artinya, mitra dapur akan menerima dana di awal untuk kebutuhan 10 hari produksi, bukan menunggu pembayaran setelah makanan disalurkan. Langkah ini diharapkan bisa mencegah penumpukan utang dan menjaga kelangsungan produksi makanan secara rutin.
BGN juga mewajibkan semua Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) memiliki akun media sosial sendiri untuk mempublikasikan proses memasak dan hasil makanan setiap hari. Tujuannya agar masyarakat bisa melihat langsung kualitas dan proses penyajian makanan MBG, sekaligus menjadi sarana pengawasan publik. Diharapkan, dengan keterbukaan ini, potensi manipulasi kualitas makanan bisa ditekan dan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab bisa terdeteksi sejak awal.
Namun demikian, Ombudsman RI menilai bahwa langkah-langkah perbaikan tersebut belum cukup. Diperlukan pengawasan yang lebih ketat dan menyeluruh, mulai dari verifikasi lembaga mitra, transparansi penggunaan dana, hingga evaluasi kualitas makanan secara berkala. Ombudsman bahkan berencana melakukan uji petik di semua provinsi untuk melihat langsung bagaimana program ini dijalankan di berbagai daerah. Tidak hanya pada aspek logistik dan keuangan, tapi juga pada dampak nyata terhadap gizi dan kesehatan anak-anak penerima manfaat.
Masalah legalitas yayasan juga menjadi perhatian khusus. Banyak yayasan dadakan yang didirikan hanya untuk ikut serta dalam program MBG, tanpa pengalaman dan tanpa infrastruktur pendukung. Pemerintah didorong untuk memperbaiki mekanisme pendaftaran mitra dengan sistem yang lebih selektif, agar hanya yayasan yang benar-benar memenuhi kriteria yang bisa menjadi mitra penyedia. Bahkan, disarankan agar proses legalisasi yayasan dipermudah namun tetap dikontrol ketat, agar peluang calo tersaring sejak awal.
Yang juga penting adalah penegakan SOP dalam setiap proses produksi dan distribusi makanan. SOP ini harus dijalankan secara konsisten oleh semua mitra, dengan audit rutin dan laporan berkala yang bisa diakses publik. Ketika terjadi insiden seperti keracunan, perlu ada mekanisme penanganan cepat dan terbuka agar kepercayaan masyarakat tetap terjaga. Tak cukup hanya memindahkan tanggung jawab ke mitra, pemerintah harus hadir dan bertanggung jawab penuh atas kualitas dan keamanan makanan MBG.
Dari perspektif masyarakat, program MBG adalah harapan besar bagi banyak keluarga yang kesulitan memenuhi kebutuhan gizi anak-anaknya. Terlebih di daerah-daerah terpencil atau miskin kota, makan gratis yang sehat dan bergizi bisa menjadi penopang utama daya tahan tubuh dan kemampuan belajar anak-anak. Maka, pengelolaan program ini tidak boleh dibiarkan dirusak oleh praktik calo atau ketidakseriusan pihak-pihak yang hanya ingin mencari untung.
Masyarakat perlu dilibatkan dalam pengawasan. Komite sekolah, orang tua murid, tokoh masyarakat, dan organisasi lokal bisa menjadi bagian dari sistem kontrol sosial terhadap pelaksanaan MBG. Mereka bisa membantu memverifikasi apakah makanan yang diberikan sesuai dengan standar, apakah proses distribusi berjalan lancar, dan apakah ada ketidakwajaran dalam penggunaan dana. Jika mekanisme partisipasi publik ini dibuka dan difasilitasi dengan baik, maka risiko penyimpangan bisa ditekan secara signifikan.
Ke depan, program MBG harus diperkuat tidak hanya dari sisi anggaran, tapi juga dari desain kelembagaan dan kontrol mutu. Pemerintah perlu membangun sistem berbasis digital yang memungkinkan pelaporan, pemantauan, dan evaluasi secara real time. Dengan teknologi, semua dapur bisa terkoneksi dan datanya bisa diakses oleh kementerian, pemerintah daerah, dan bahkan masyarakat. Ini akan mendorong efisiensi dan mempersempit ruang bagi manipulasi.
Sebagai bangsa yang menaruh cita-cita besar pada generasi muda, kita tidak boleh kompromi dalam soal gizi anak-anak. Program Makan Bergizi Gratis adalah salah satu instrumen penting untuk menyiapkan masa depan Indonesia yang sehat dan cerdas. Tapi untuk mencapainya, kita harus memastikan program ini bebas dari calo yayasan, bebas dari penyimpangan, dan benar-benar berpihak pada kebutuhan anak-anak, bukan pada kepentingan segelintir elite yang bermain di belakang layar.