Bangga iPhone, Lupa Asupan: Ketika Status Sosial Menipu Logika Ekonomi

Edith Razan

Ada yang tak seimbang di negeri ini. Di satu sisi, masyarakat kita makin getol mengejar status—memamerkan gadget mahal, fashion terkini, mobil baru. Tapi di sisi lain, anak-anak kita masih banyak yang kurus, ceking, kurang gizi. Di kota-kota besar, antrean midnight sale iPhone bisa mengular, sementara di daerah pinggiran, antrean Posyandu menampilkan balita dengan perawakan jauh dari normal. Kita hidup dalam dualitas yang janggal: pameran status sosial di tengah krisis pembangunan manusia.

Tak perlu jauh-jauh ke pedalaman. Bahkan di kota besar, tak jarang kita temui anak-anak yang hanya sarapan dengan teh manis dan gorengan, lalu pulang ke rumah tempat ibunya sedang bermain HP seharga 15 juta sambil ngeluh uang belanja habis. Ironis? Tidak. Ini sudah jadi bagian dari realitas sehari-hari.

Status Sosial: Panggung Tipu-Tipu

Di zaman ini, status sosial bukan lagi soal pekerjaan, kontribusi, atau nilai moral. Tapi soal tampilan luar. Handphone merek tertentu, outfit branded (entah ori atau KW), nongkrong di kafe fancy, semua jadi tiket untuk dianggap “berkelas.” Bahkan media sosial turut menguatkan ilusi ini: makin wah gaya hidupmu, makin tinggi validasi yang kamu terima.

Sosial media kita dipenuhi unggahan selfie dari mobil mewah, story ngopi di rooftop hotel, unboxing gadget baru. Tapi tak pernah ada yang pamer isi kulkas yang kosong, tagihan sekolah anak yang belum dibayar, atau asupan gizi yang jauh dari standar. Kita hidup dalam budaya pencitraan, bukan pencapaian. Di sinilah status sosial menjadi racun: ia menipu cara kita mengelola ekonomi.

Logika Ekonomi yang Dibelokkan oleh Gengsi

Logika ekonomi sederhana: belanja untuk hal yang dibutuhkan, bukan sekadar diinginkan. Tapi saat gengsi masuk, logika ini dibengkokkan. Beli ponsel flagship padahal income belum mapan. Beli mobil baru tapi makan mi instan tiap malam. Pakai sepatu 3 juta tapi bayar sekolah anak pakai cicilan.

Kenapa bisa begini? Karena di masyarakat kita, kemampuan konsumsi = citra sukses. Bahkan kemampuan mencicil dianggap sebagai kekuatan daya beli. Banyak yang merasa lebih berharga karena bisa beli sesuatu yang seharusnya belum terjangkau.

Akibatnya, muncul fenomena rumah tangga yang tampak makmur di luar, tapi sebenarnya rapuh di dalam. Rentan utang, tidak punya dana darurat, dan ironisnya, mengabaikan aspek-aspek penting kehidupan seperti gizi keluarga, pendidikan anak, dan tabungan masa depan.

Ketimpangan Sosial: Melebar Tanpa Disadari

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa rasio gini Indonesia masih berada di angka 0,388 (2023)—yang artinya, kesenjangan pengeluaran antarpenduduk masih cukup tinggi. Artinya, sebagian kecil masyarakat menikmati peningkatan penghasilan besar, sementara sebagian besar lainnya hanya jalan di tempat, atau bahkan mundur.

Tapi di atas kertas, pendapatan tampak stabil. Apa yang terjadi? Ini yang disebut “illusion of parity”—di mana semua terlihat setara karena semua orang bisa memiliki barang yang sama lewat cicilan. Tapi kenyataan ekonominya berbeda jauh. Seseorang bisa pakai iPhone yang sama, tapi satu beli tunai dari hasil investasi, yang lain kredit 24 bulan dengan bunga tinggi.

melakukan kegiatan kerelawanan seperti donasi bareng dan aksi sosial jelas menumbuhkan perilaku yang lebih bertanggung jawab dalam pengelolaan mindset hidup dan mengatur keuangan pribadi.

Inilah yang menciptakan anomali sosial: barang mewah jadi standar massal, sementara kualitas hidup dasar seperti pangan bergizi, layanan kesehatan, dan pendidikan tetap timpang.

Gizi Anak: Korban Pertama Ketimpangan Prioritas

Kita boleh saja bangga karena GDP per kapita Indonesia naik. Tapi bagaimana dengan gizi anak-anak kita?

Menurut Status Gizi Indonesia 2022 (Kemenkes):

  • 21,6% anak balita menderita stunting
  • 7,7% mengalami wasting
  • Anemia pada remaja putri dan ibu hamil melebihi 30%

Bukan hanya di pelosok, bahkan di kota besar pun, asupan gizi anak tidak ideal. Banyak rumah tangga yang tak punya lauk bergizi di meja makan, tapi punya lebih dari dua gadget pintar di rumah. Bukan karena tak punya uang, tapi karena tak menganggap gizi sebagai prioritas. Karena membeli gawai dianggap investasi sosial, sementara memberi makan sehat dianggap beban tambahan.

Pendidikan vs Penampilan: Pertarungan yang Sering Kalah

Selain gizi, pendidikan anak juga kerap dikorbankan demi status. Banyak orang tua yang sanggup mencicil gadget mahal, tapi enggan membeli buku berkualitas. Kursus tambahan diabaikan, asal anak punya HP untuk ikut Zoom sekolah. Tapi HP itu lebih sering dipakai untuk main game atau TikTok, bukan belajar.

Lalu kita bertanya, kenapa kualitas SDM kita belum setara dengan negara-negara maju? Jawabannya: karena kita terlalu banyak berinvestasi pada penampilan, bukan pada isi kepala.

Urban Middle-Class: Korban dan Pelaku

Segmen masyarakat yang paling terjebak dalam logika status palsu ini adalah kelas menengah kota. Mereka sudah cukup mapan untuk mengakses kredit, tapi belum cukup stabil untuk bebas dari tekanan sosial. Mereka ingin naik kelas sosial, dan percaya bahwa penampilan adalah kuncinya.

Padahal justru mereka yang paling butuh alokasi dana yang sehat. Mereka yang paling rentan terhadap krisis finansial mendadak, paling terdampak inflasi, dan paling sering ‘terpeleset’ dalam pengeluaran tak produktif.

Fenomena iPhone: Simbol Ketimpangan Gaya Baru

Mari bicara jujur: kenapa iPhone?

Karena iPhone bukan sekadar HP. Ia adalah simbol. Simbol kemapanan, kecanggihan, keberhasilan. Maka jangan heran jika ada yang rela jual motor, gadai emas, atau bahkan ambil pinjaman demi mendapatkannya.

Padahal, sebagian besar penggunanya tak menggunakan 50% pun dari kapasitas teknologi itu. Kamera 48MP hanya dipakai buat selfie. Chipset canggih cuma untuk main Candy Crush. Tapi tidak apa-apa—yang penting “punya iPhone.”

Inilah ketika barang menjadi identitas. Dan ketika identitas dikejar lebih dari substansi, maka ekonomi rumah tangga pun tersesat.

Negara Maju Tak Begitu

Di Jerman, Australia, atau Kanada, mayoritas kelas menengah tak malu memakai HP Android kelas menengah, mobil keluarga biasa, dan tas tanpa logo. Kenapa? Karena di sana, status sosial dibangun lewat kontribusi, profesi, dan kecerdasan finansial. Flexing bukan hanya dianggap tidak penting, tapi juga dianggap childish.

Di Indonesia, flexing justru dianggap wajar. Bahkan kadang jadi standar. Diundang kerja di kantor startup saja, ditanya: “iPhone atau Android?”

Kita sedang menciptakan kasta sosial berdasarkan benda, bukan kualitas.

Efek Domino Sosial

Ketimpangan ini tak berhenti di individu. Ia menular. Teman satu tongkrongan ganti HP, yang lain merasa harus ikut. Tetangga beli mobil baru, yang lain merasa harus menyusul. Dalam budaya komunal, standar sosial sangat berpengaruh. Dan standar itu kini bukan lagi pendidikan atau kontribusi, tapi barang.

Efeknya?

  • Pengeluaran keluarga naik, tabungan menipis.
  • Angka utang konsumtif meningkat.
  • Generasi muda tumbuh dengan logika gengsi, bukan logika produktivitas.
  • Pola konsumsi nasional tak lagi sehat.
Solusi? Butuh Revolusi Budaya

Ini bukan sekadar soal edukasi, tapi soal redefinisi nilai sosial. Kita harus menggeser definisi sukses dari “barang apa yang kamu punya” menjadi “apa yang kamu bangun.”

Beberapa langkah konkret yang bisa diambil:

  • Kampanye anti-flexing di media sosial: bukan untuk memalukan, tapi menyadarkan.
  • Edukasi literasi finansial sejak dini di sekolah dan komunitas.
  • Rebranding prestise sosial: bukan pada benda, tapi kontribusi, pendidikan, dan kesehatan.
  • Dorong tokoh publik memberi contoh hidup sederhana, bukan hedonistik.

Sudah cukup kita hidup dalam ilusi sosial. Sudah terlalu lama kita menilai manusia dari benda, bukan dari isi kepalanya atau nilai hidupnya. Saatnya kita sadar bahwa tak ada kebanggaan dalam punya iPhone jika isi kulkas kosong. Tak ada kemuliaan dalam flexing kalau anak-anak kita masih kekurangan gizi.

Investasi paling bergengsi bukan pada kamera 48MP, tapi pada otak anak yang tumbuh sehat. Bukan pada logo apel digigit, tapi pada meja makan yang berisi lauk penuh protein. Karena bangsa yang kuat bukan yang penduduknya sibuk memoles citra, tapi yang masyarakatnya sehat, cerdas, dan tahu apa yang penting.

Kalau masih mau flexing, pamerlah kartu imunisasi anak yang lengkap, nilai ujian matematika yang naik, atau tabungan pendidikan yang terus tumbuh. Karena itu investasi yang tidak akan usang dimakan tren.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *