Fidela Almeira
Kalau selama ini orang berpikir hilirisasi hanya soal tambang dan nikel, barangkali mereka belum mengintip bagaimana potensi kelapa diolah dari ujung batang sampai ke ampasnya. Kita punya lebih dari 3 miliar butir kelapa per tahun, dan ironisnya, sebagian besar diekspor dalam bentuk kelapa bulat mentah, nyaris tanpa nilai tambah. Padahal satu butir kelapa bisa berubah jadi santan, minyak kelapa, parutan kering, VCO, hingga karbon aktif dan kerajinan tempurung. Di sisi lain, program besar negara seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) justru bergantung pada ketersediaan kelapa lokal, bukan dari ekspor. Dapur-dapur SPPG yang jadi tulang punggung distribusi makan bergizi ini beroperasi dengan skala ekonomi besar-besaran. Satu dapur melayani 3.000 anak per hari, dan jika target 30.000 dapur tercapai, maka ada 90 juta porsi yang harus disajikan per hari. Ini bukan dapur komunitas biasa, ini adalah dapur skala negara. Dan bahan mentah seperti kelapa tidak bisa terus dibiarkan terbawa kapal ekspor.
Setiap porsi makan berbasis santan memerlukan sekitar seperempat butir kelapa. Karena tidak semua menu pakai santan, anggaplah 20 persen dari seluruh porsi harian menggunakan kelapa. Itu berarti satu anak membutuhkan 0,05 butir kelapa per hari. Dikalikan 90 juta anak, maka dapur SPPG akan menyerap 4,5 juta butir kelapa per hari. Bandingkan dengan kapasitas produksi harian nasional sekitar 8,2 juta butir per hari. Bila ekspor kelapa tetap di angka 1,43 juta butir per hari dan kebutuhan domestik di luar MBG mencapai 2 juta, maka sisa untuk dapur SPPG hanya 4,8 juta. Artinya, margin sangat sempit. Bila harga naik, MBG bisa gagal menyajikan menu bergizi yang layak berbasis kelapa. Dan kalau menu harus diubah karena kelangkaan santan, maka hilang pula cita rasa masakan lokal yang menjadi jembatan budaya dalam pendidikan gizi anak.
Di sisi lain, hilirisasi kelapa menunjukkan peluang ekonomi luar biasa. Saat ini, industri minyak kelapa menyumbang lebih dari 1 juta ton produksi per tahun, dengan investasi sekitar Rp187 miliar dan menyerap lebih dari 2.700 tenaga kerja. Kelapa parut kering juga ekspor andalan, dengan kapasitas 41 ribu ton dan serapan tenaga kerja di atas 7 ribu orang. Virgin Coconut Oil (VCO) tumbuh cepat walau datanya belum terstruktur. Arang tempurung bahkan sudah tembus pasar Timur Tengah dan Eropa. Produk seperti karbon aktif punya nilai tambah tinggi, dengan kapasitas 25 ribu ton per tahun dan investasi lebih dari Rp1 triliun. Jika saja dapur MBG bisa bermitra langsung dengan industri hilir ini—baik sebagai pembeli bahan olahan santan siap pakai, maupun sebagai pendorong pasar kelapa segar—maka akan terbentuk ekosistem pangan nasional yang tangguh.
Produk Olahan Kelapa dan Skala Industrinya
Produk Olahan Kelapa | Kapasitas Produksi (Per Tahun) | Skala Ekonomi & Catatan |
---|---|---|
Minyak Kelapa (Minyak Goreng) | ±1.049.683 ton | Industri besar, menyerap ±2.725 tenaga kerja; investasi ±Rp187,6 miliar; produksi ±545.835 ton; kontribusi 12% dari konsumsi minyak goreng nasional. |
Virgin Coconut Oil (VCO) | Data tidak tersedia | Skala UMKM hingga ekspor; nilai tambah tinggi (hingga 11x dari kelapa mentah); tantangan pada mutu dan kapasitas produksi. |
Kelapa Parut Kering (Desiccated Coconut) | ±41.287 ton | Industri menengah; ekspor ke pasar global; investasi ±Rp83,9 miliar; menyerap ±7.121 tenaga kerja. |
Santan Cair & Bubuk | Data tidak tersedia | Industri besar dan UMKM; merek seperti Kara sudah menembus pasar global; potensi ekspor tinggi. |
Gula Kelapa | Data tidak tersedia | Skala UMKM; permintaan meningkat di pasar organik dan ekspor; potensi besar untuk pengembangan. |
Nata de Coco | Data tidak tersedia | Skala UMKM; nilai tambah sedang; pasar domestik dan ekspor; IRR ±32%. |
Arang Tempurung | ±0,75 juta ton | Industri menengah; ekspor ke Timur Tengah dan Eropa; nilai tambah tinggi; IRR ±23%. |
Karbon Aktif | ±25.000 ton | Industri besar; investasi ±Rp1.118,7 miliar; permintaan tinggi untuk filtrasi dan industri. |
Serat Sabut & Cocopeat | ±1,8 juta ton (serat sabut); ±3,3 juta ton (debu sabut) | Skala UMKM; digunakan untuk matras, kasur, pot, kompos; IRR ±76%. |
Kerajinan Tempurung | Data tidak tersedia | Skala UMKM; produk bernilai seni dan ekspor; potensi pengembangan tinggi. |
Ringkasan Skala Ekonomi Industri Hilir Kelapa
Industri Hilir | Kapasitas Produksi | Investasi (Rp) | Tenaga Kerja | Catatan |
---|---|---|---|---|
Minyak Kelapa | ±1.049.683 ton | ±187,6 miliar | ±2.725 | Kontribusi 12% dari konsumsi minyak goreng nasional. |
Kelapa Parut Kering | ±41.287 ton | ±83,9 miliar | ±7.121 | Ekspor ke pasar global. |
Karbon Aktif | ±25.000 ton | ±1.118,7 miliar | ±5.528 | Permintaan tinggi untuk filtrasi dan industri. |
Potensi lain datang dari produk seperti santan cair dan santan bubuk. Merek seperti Kara sudah terbukti bisa ekspor besar-besaran. Tapi tetap, pabrik santan tidak bisa hidup tanpa pasokan kelapa lokal yang stabil. Maka hilirisasi di sini bukan cuma soal industrialisasi, tapi soal ketahanan pasokan. Jika SPPG membeli santan dalam bentuk curah dari pabrik lokal, maka ada penghematan tenaga di dapur dan pengurangan limbah. Tapi di sisi lain, kita harus hati-hati dengan bahan tambahan dan kualitas produk, apalagi untuk konsumsi anak sekolah. Alternatif paling sehat tetap: pasokan kelapa segar langsung dari petani ke dapur MBG, diproses onsite atau semi-onsite.
Coba kita lihat dari kacamata koperasi. Bila tiap kelompok tani kelapa bisa memasok secara langsung ke dapur SPPG, maka terjadi dua efek sekaligus: pendapatan petani meningkat karena tidak bergantung pada tengkulak, dan dapur tidak terpapar fluktuasi harga pasar. Ini lebih dari sekadar transaksi, ini simbiosis mutualistik. Dalam jangka panjang, koperasi kelapa juga bisa bertransformasi menjadi produsen turunan seperti minyak goreng kelapa untuk dapur, VCO untuk kesehatan, bahkan cocopeat dan serat sabut untuk integrasi ke sektor pertanian sekolah. Semua rantai ini bisa dirancang dalam lingkaran ekonomi nasional yang berbasis gotong-royong.
Pertanyaannya bukan lagi apakah hilirisasi kelapa penting, tapi siapa yang mau memimpin orkestrasinya. Apakah negara hanya akan menonton ekspor kelapa bulat terus melonjak tanpa kendali? Atau kita akan mulai membatasi ekspor dan memprioritaskan bahan mentah untuk hilirisasi dalam negeri dan kebutuhan strategis seperti MBG? Dapur SPPG bukan sekadar dapur masak. Ia adalah mesin ekonomi rakyat yang bisa menghidupkan petani, UMKM, hingga industri besar. Tapi ia juga sangat rapuh jika pasokannya tidak dilindungi.
Kalau hari ini dapur SPPG belum sepenuhnya beroperasi tapi harga kelapa sudah melonjak karena ekspor, bayangkan apa yang akan terjadi saat 30.000 dapur aktif penuh. Maka hilirisasi kelapa bukan cuma agenda ekonomi, tapi soal survival pangan nasional. Ia harus dijalankan bersama dengan perlindungan pasokan bahan baku, investasi industri lokal, dan desain ulang rantai distribusi yang berpihak pada petani. Bila ini bisa dilakukan, dapur SPPG tidak hanya akan menyajikan makanan bergizi, tapi juga jadi lokomotif ekonomi rakyat dari kebun kelapa sampai ke meja makan sekolah.