Makan Bergizi Tanpa Mafia: Jalur Pendek Menuju Pangan Adil

Edith Razan

Kalau hari ini seorang anak sekolah makan nasi, sayur, dan telur rebus di atas tray stainless, kita seharusnya tak hanya bertanya soal gizinya. Tapi juga: dari mana bahan-bahan itu datang? Siapa yang menanam sayurnya? Siapa yang memelihara ayamnya? Dan siapa yang menentukan harganya?

Di banyak tempat, makanan sekolah masih menempuh perjalanan panjang. Sayur dari luar kota, daging dari gudang dingin ratusan kilometer, dan telur kadang datang dari sistem besar yang tidak mengenal siapa yang akan menyantapnya. Padahal sekolah itu ada di tengah-tengah desa dengan kebun, kandang ayam, dan kolam ikan. Lalu kenapa logistik pangan anak-anak kita begitu berputar-putar?

Jawabannya ada di sistem distribusi lama: panjang, fluktuatif, dan sering kali dikendalikan oleh tangan-tangan tak terlihat yang menentukan harga dari balik meja. Inilah yang kerap disebut orang sebagai mafia pangan. Bukan karena mereka memakai senjata, bukan pula karena mereka muncul di berita kriminal. Tapi karena mereka bisa mengatur pasar tanpa terlihat, menentukan siapa yang boleh jualan dan siapa yang harus keluar dari sistem.

Yang perlu diluruskan: sistem MBG—khususnya yang dijalankan Badan Gizi Nasional (BGN)— justru berusaha memperbaiki agar terbebas dalam kendali para mafia itu. Justru sebaliknya, MBG menjadi salah satu upaya paling serius negara untuk mendesentralisasi logistik pangan. Pengadaan sudah banyak dilakukan secara lokal, pembelian dari koperasi mulai diperkuat, dan banyak dapur SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi) mulai bermitra langsung dengan petani desa. Tapi ini belum cukup.

Di luar sistem MBG yang mulai sehat itu, masih ada struktur besar yang belum berubah. Di pasar umum, di jalur distribusi bahan pangan pemerintah non-MBG, di banyak proyek pangan lainnya, sisa-sisa jalur lama masih bercokol. Di situlah tangan-tangan berkuasa—yang tak tercatat dalam struktur formal tapi kuat dalam praktik—masih bisa bermain.

Mereka bisa mengatur harga cabai di pasar induk. Mereka bisa menentukan siapa yang dapat akses ke suplai telur skala besar. Mereka bisa membentuk jaringan yang terlihat seperti “swasta biasa”, padahal mereka memonopoli suplai dari hulu ke hilir. Seringkali, petani bahkan tak tahu siapa yang akhirnya membeli produknya, dan konsumen tak tahu siapa yang sebenarnya mengendalikan harga di balik layar.

Kita menyebut ini mafia bukan karena dramatis, tapi karena tak ada istilah lain yang bisa menjelaskan kekuatan pasar yang tidak kasat mata tapi nyata dampaknya.

Karena itulah jalur pendek—antara petani dan sekolah—menjadi sangat penting. Ini bukan hanya solusi logistik, tapi juga bentuk perlawanan terhadap struktur distribusi yang tidak adil. Jalur pendek berarti petani tahu siapa konsumennya, dan dapur sekolah tahu siapa produsennya. Harga bisa disepakati langsung, kualitas bisa diawasi langsung, dan relasi bisa dibangun berdasarkan saling percaya.

Gerakan beli langsung ke petani bukan barang baru, marak di pelbagai negara (unsplash)

Di banyak desa, koperasi mulai memainkan peran ini. Mereka mengorganisasi petani kecil, mengatur jadwal panen, mencatat kebutuhan sekolah, dan mendistribusikan pangan segar ke dapur MBG. Bukan karena proyek. Bukan karena intervensi top-down. Tapi karena logikanya masuk akal: lebih murah, lebih cepat, dan lebih manusiawi.

Bayangkan satu desa dengan lima petani kangkung, tiga peternak ayam, dan dua ibu rumah tangga pembuat tempe. Jika mereka semua disambungkan ke dapur MBG desa lewat koperasi Merah Putih, maka rantai pasoknya sangat pendek. Sayur dipanen pagi, dimasak siang. Telur dipungut malam, dikirim besok pagi. Tidak ada gudang besar, tidak ada mark-up berlapis, tidak ada biaya misterius. Yang ada hanya transaksi adil dan tuntas.

Model seperti ini tidak hanya menurunkan ongkos logistik, tapi juga memutus potensi manipulasi pasar. Karena semakin pendek rantai, semakin kecil peluang untuk “tangan gelap” bermain. Semakin langsung transaksi, semakin sedikit ruang untuk permainan harga dan suplai fiktif.

Sekali lagi, kita harus menegaskan: para pelaksana MBG, termasuk vendor lokal yang ditunjuk berdasarkan sistem desentralisasi, tidak bisa disamakan dengan mafia pangan. Mereka bekerja dalam sistem yang sedang diperbaiki. Yang perlu dijaga adalah jangan sampai sistem yang sudah dibuka ini kembali dikuasai oleh mereka yang dulu terbiasa bermain di balik layar.

Dan ini bisa terjadi, jika kita lengah. Jika kita tidak mendampingi koperasi. Jika kita tidak memperkuat petani. Jika kita tidak mendigitalisasi sistem sederhana yang bisa mencatat siapa tanam apa, kapan panen, dan ke mana dikirim. Jika kita kembali percaya pada narasi bahwa logistik pangan hanya bisa dikuasai oleh yang besar dan berpengalaman.

Padahal pengalaman terbaik adalah yang paling dekat. Petani tahu kapan hujan datang, tahu bagaimana menjaga kesegaran hasil panen, tahu apa yang cocok dimasak besok. Mereka tidak butuh manajer gudang. Mereka butuh akses langsung ke pasar—dan dalam hal ini, dapur sekolah adalah pasar yang paling layak dan menjanjikan.

Sudah banyak bukti di lapangan bahwa sistem ini bisa berjalan. Di Kabupaten Sleman, satu koperasi petani sudah menyuplai rutin ke 12 sekolah. Mereka menanam sesuai jadwal dapur. Harga ditentukan di awal bulan. Tidak ada tengkulak. Tidak ada markup ganda. Dan tidak ada anak yang makan lauk sisa semalam.

Di Sumatera Barat, kelompok ibu rumah tangga mulai memasok lauk ke dapur SPPG. Mereka masak dari bahan lokal yang mereka beli langsung dari petani sebelah rumah. Telur dari kampung sebelah. Sayur dari kebun belakang rumah. Semua selesai dalam radius tiga kilometer. Anak-anak sekolah tidak makan makanan pabrik. Mereka makan makanan buatan komunitasnya sendiri.

Dan hasilnya bukan hanya gizi yang naik. Tapi harga diri petani juga naik. Ekonomi lokal hidup. Uang negara tidak keluar desa. Dan kepercayaan sosial tumbuh: antara petani, dapur, dan murid.

Mafia pangan tidak suka sistem seperti ini. Karena sistem ini tidak memberi ruang untuk bermain. Tidak ada tempat untuk markup tak masuk akal. Tidak ada celah untuk “titipan suplai” atau “paket rekomendasi”. Semuanya jelas. Semuanya transparan. Semuanya manusiawi.

Inilah sebabnya kenapa kita harus memperluas model jalur pendek ini. Bukan hanya di program MBG. Tapi juga di sistem distribusi pangan nasional lainnya. Karena jalur pendek bukan sekadar strategi logistik. Ia adalah gerakan kedaulatan pangan. Gerakan untuk mengembalikan kuasa pangan kepada rakyat. Gerakan untuk membuat anak-anak kita makan makanan yang tahu asalnya, dan petani kita menjual hasilnya dengan harga pantas.

Bukan berarti ini semua akan mudah. Mafia tidak akan tinggal diam. Mereka akan menuduh koperasi tidak profesional. Mereka akan bilang petani tidak konsisten. Mereka akan menyebar narasi bahwa hanya sistem besar yang bisa menjamin mutu.

Tapi kenyataan di lapangan membantah semua itu. Di banyak tempat, koperasi sudah mampu. Petani sudah bisa. Komunitas sudah siap. Yang kurang hanya dukungan. Dan keberanian politik.

Jika kita ingin MBG bukan hanya soal makan gratis, tapi juga soal keadilan ekonomi dan kedaulatan pangan, maka kita harus memilih jalur yang tepat. Dan jalur itu bukan yang panjang, berlapis, dan mahal. Jalur itu pendek, dekat, dan jujur.

Makan bergizi tanpa mafia adalah mungkin. Dan itu dimulai dari desa.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *