Jalan Panjang Menuju 80.000 Koperasi: Siapa Siap Jadi Tulang Punggung MBG?

Fidela Almeira

Dari angka 80.000 itu, kita bisa menyimpulkan satu hal: negara sedang merancang mesin besar. Bukan mesin pabrik, tapi mesin sosial-ekonomi yang akan menggiling potensi desa jadi kekuatan nasional. Mesin itu bernama Koperasi Merah Putih, dan jika semua berjalan seperti yang dibayangkan pemerintah, ia akan jadi simpul baru pembangunan pangan—bukan hanya untuk kemandirian ekonomi, tapi juga untuk memberi makan anak-anak sekolah lewat program Makan Bergizi Gratis (MBG).

Lalu, kenapa 80.000? Karena Indonesia punya lebih dari 83.000 desa dan kelurahan. Artinya, setiap desa disiapkan punya satu koperasi resmi, beroperasi, terkoneksi dengan sistem layanan publik—dan jadi pusat distribusi pangan. Ini bukan sekadar koperasi biasa yang menjual sembako, melainkan koperasi modern yang mengelola produksi petani lokal, membeli telur dari peternak ayam kampung, lalu memasok langsung ke dapur sekolah. Dalam bahasa kerennya: koperasi sebagai offtaker strategis untuk MBG.

Tapi ide sebesar ini tentu tidak datang tanpa tantangan. Pertama, soal kecepatan. Target pembentukan dan operasional jatuh pada 28 Oktober 2025. Kurang dari satu setengah tahun dari sekarang, semua infrastruktur—dari kelembagaan hingga sistem manajemen—harus sudah beres. Padahal, banyak desa bahkan belum punya koperasi aktif yang sehat, apalagi yang siap terhubung ke sistem pasok nasional.

Kedua, soal SDM dan budaya kerja. Koperasi bukan sekadar wadah, tapi lembaga hidup yang butuh tata kelola yang profesional dan akuntabel. Bayangkan bila pengelolanya asal tunjuk, tanpa pelatihan, tanpa pemahaman soal bisnis pangan atau manajemen logistik. Akhirnya koperasi jadi formalitas, bukan tulang punggung. Padahal dalam desain MBG, koperasi akan menghubungkan produksi lokal langsung ke Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), entitas eksekutor program makan bergizi gratis.

Ketiga, integrasi antar lembaga. Program ini dikoordinasikan langsung oleh Menko Pangan, melibatkan 17 kementerian dan lembaga. Dari Kemenkop, Kemendagri, Kemendes, hingga BGN. Semua harus punya irama yang sama, mulai dari pendataan, penyaluran KUR, hingga pendampingan. Tapi kita tahu, koordinasi antar lembaga di Indonesia sering kali seperti orkestra tanpa konduktor. Terlalu banyak suara, tapi tidak ada harmoni.

Lalu, bagaimana seharusnya? Jawabannya mungkin ada di desa-desa yang sudah mencoba lebih dulu. Di Kabupaten Bone misalnya, uji coba koperasi sebagai penyedia pangan MBG telah dimulai. Hasilnya? Petani lokal tersenyum karena panennya tidak lagi harus dibawa ke kota. Sekolah-sekolah juga merasa lebih dekat dengan sumber makanannya. Bahkan SPPG setempat bisa melakukan kontrol mutu dengan lebih mudah karena semua datang dari sekitar.

Di Magelang, pendekatan serupa sedang diuji. Koperasi bekerja sama dengan peternak kecil untuk memasok telur segar ke dapur-dapur MBG. Tak ada distributor besar, tak ada markup gila-gilaan. Semua ditata dalam sistem yang disebut rantai pendek pangan, yang kini jadi tren di banyak negara karena terbukti lebih tangguh dan berkelanjutan.

Namun tentu saja, ini semua masih permulaan. Tantangannya nanti bukan hanya sekadar membentuk koperasi, tapi memastikan koperasi itu tidak dikendalikan oleh segelintir elite desa. Koperasi Merah Putih harus menjadi milik warga, bukan milik kepala desa atau yayasan titipan. Dan di sinilah negara harus berani hadir: bukan hanya lewat regulasi, tapi lewat pengawasan dan pendampingan jangka panjang.

Potret peternakan ayam dengan telur yang dihasilkan (unsplash)

Dalam konteks ini, MBG bukan cuma program sosial, tapi ujian nyata bagi desain kelembagaan nasional. Bila koperasi-koperasi ini mampu mengalirkan pangan bergizi secara rutin, dengan kualitas terjaga dan harga terkendali, maka kita tidak hanya memberi makan anak-anak—kita sedang menciptakan struktur ekonomi baru dari bawah.

Lalu siapa yang siap jadi tulang punggung? Pertanyaannya bukan hanya untuk petani atau guru koperasi. Tapi untuk pemerintah daerah, pendamping desa, kepala sekolah, hingga peternak kecil di pelosok. Koperasi Merah Putih akan jadi medan uji bagi semua: apakah kita benar-benar serius membangun dari desa, atau hanya mengulang pola lama dengan bungkus yang lebih rapi.

Dan pada akhirnya, kita akan tahu. Apakah 80.000 itu sekadar angka di atas kertas, atau benar-benar jadi denyut nadi baru untuk masa depan pangan dan gizi anak-anak Indonesia.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *