Zoreen Muhammad
Program makan gratis untuk anak sekolah barangkali adalah ide paling revolusioner berskala besar, sekaligus paling sensitif yang pernah dijalankan pemerintah. Ia menyentuh dapur rumah tangga, menyentuh isi perut anak-anak kita, dan menyentuh harapan masa depan. Tapi ketika kata “gratis” didengungkan di depan, kadang kita lupa: tak ada yang benar-benar gratis kalau sesuatu berjalan kurang smooth di perjalanannya. Lalu muncul pertanyaan paling telanjang dan tak nyaman: kalau ada yang keracunan, siapa yang bayar?
Beberapa pekan terakhir, kasus keracunan dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) mencuat dari berbagai daerah. Daging basi, telur amis, bahkan nasi yang tak layak makan. Anak-anak tumbang (walau sebenarnya hanya sebagian kecil saja), orang tua resah, rumah sakit panik, dan publik mulai menggugat: di balik makanan yang dibagikan dengan niat baik itu, ada risiko nyata yang kurang dijelaskan di awal-awal. Lalu, siapa yang tanggung? Siapa yang ganti rugi? Kementerian? Vendor katering? Atau cuma ditutup dengan kata “evaluasi”?
Kenyataan pahitnya: tak ada satu pun klausul asuransi dalam sistem MBG saat ini. Padahal kita tahu, skema ini bukan program kecil. Ini bukan sekadar CSR perusahaan lokal atau event sesekali yang bisa dimaafkan kalau gagal. Ini proyek negara, dengan jutaan penerima manfaat dan ribuan pihak yang terlibat. Maka ketika risiko terjadi, seharusnya sudah ada sistem yang otomatis bekerja. Negara tidak boleh gagap, keluarga korban tidak boleh dibiarkan bingung, dan vendor tidak boleh sembunyi dari masalah, atau bahkan sekolah yang ikut menyebabkan makanan didiamkan berjam-jam sehingga membusuk musti ikut andil tanggung jawab.
Asuransi semestinya menjadi bagian tak terpisahkan dari program berskala nasional seperti MBG. Bukan semata-mata soal uang ganti rugi, tapi tentang kepastian. Kepastian bahwa negara hadir bukan hanya saat membagi makanan, tapi juga saat terjadi musibah. Kepastian bahwa anak-anak kita tidak akan dibiarkan menanggung akibat dari kesalahan sistem. Kepastian bahwa pelaksana program benar-benar menjalankan protokol mutu karena ada sanksi finansial jika lalai.
Kita tidak perlu meraba-raba terlalu jauh untuk melihat contohnya. India pernah mengalami tragedi besar pada 2013, ketika 23 siswa tewas akibat makanan beracun dari program makan siang di Bihar. Sejak saat itu, pemerintah India menetapkan kewajiban asuransi untuk penyedia makanan sekolah. Di Amerika Serikat, distrik sekolah yang menjalankan National School Lunch Program wajib memiliki perlindungan liability insurance. Mereka sadar bahwa ketika negara ikut masuk dapur publik, maka negara juga harus siap ikut bayar kalau dapur itu keliru.
Mengapa Indonesia justru belum punya skema seperti itu?
Barangkali karena kata “asuransi” masih dianggap mewah, atau dianggap menambah beban anggaran. Padahal, asuransi justru menghemat biaya tak terduga. Daripada pemerintah buru-buru mencari dana darurat setiap kali ada keracunan, lebih efisien bila dana premi sudah disiapkan sejak awal. Dan bukan hanya dari APBN, tapi bisa juga berbagi beban dengan penyedia jasa katering, distributor, bahkan melalui skema jaminan dari BUMN asuransi. Gak enaknya, BGN dituduh sementara orang mengambil manfaat dari premi asuransi ini.
Salah satu skema yang cocok digunakan adalah model parametric insurance—skema di mana dana kompensasi langsung cair jika indikator tertentu terpenuhi, misalnya 50 siswa sakit karena konsumsi makanan MBG dalam satu sekolah. Skema ini membuat waktu penanganan jauh lebih cepat dibanding sistem birokratis yang menunggu hasil investigasi dan surat dari sana-sini.

Masalahnya, siapa yang mendorong ini? Harus diakui, sampai hari ini belum ada instansi yang benar-benar menjadikan ide asuransi ini sebagai agenda utama. BGN sebagai pelaksana program memang mulai membuka opsi “kompensasi”, tapi wacananya masih samar. Ombudsman sudah menegaskan perlunya tanggung jawab hukum. Tapi yang kita butuhkan bukan hanya reaksi sesudah kejadian, tapi sistem pencegahannya sejak awal.
Jika pemerintah serius menjaga keberlangsungan MBG, maka seharusnya ada desain ulang dalam sistemnya. Tiap kontrak katering harus menyertakan klausul asuransi keracunan makanan. Tiap dapur SPPG harus diaudit bukan cuma dari sisi logistik, tapi juga kelayakan sanitasi. Bahkan, bisa saja dibentuk dana tanggap darurat nasional berbasis premi bersama, yang bisa langsung diakses sekolah atau orang tua jika terjadi kejadian luar biasa.
Tentu ini tidak mudah. Apalagi mengingat banyak penyedia makanan berasal dari UKM lokal yang mungkin belum paham soal asuransi. Tapi justru di sinilah negara harus hadir sebagai fasilitator. Beri pelatihan, sederhanakan sistem klaim, bantu mereka agar tidak merasa ditinggalkan. Sebab risiko yang mereka tanggung juga adalah risiko negara.
Tak ada program publik yang sempurna. Tapi yang membuatnya bisa bertahan bukanlah bebas dari masalah, melainkan punya sistem yang tangguh saat masalah datang. Dan dalam konteks MBG, asuransi bukan tambahan mewah. Ia kebutuhan mendasar.
Karena makan boleh gratis. Tapi ketika ada yang sakit, negara tetap harus bayar. Dan seharusnya, sudah ada sistem yang menyiapkan diri untuk itu dari awal.