Belajar dari Insiden: Menyusun Ulang Standar Keamanan Pangan untuk MBG

Edith Razan

Tak ada yang ingin anak-anak sekolah sakit karena makanan. Apalagi ketika makanan itu datang dari program pemerintah yang bertujuan mulia: Makan Bergizi Gratis (MBG). Namun kenyataannya, dalam beberapa minggu terakhir, insiden keracunan makanan di berbagai wilayah Indonesia telah mencoreng wajah program ini. Dari Bogor hingga Palembang, dari Batang ke Sukoharjo, laporan demi laporan muncul: puluhan hingga ratusan siswa mengalami gejala mual, muntah, hingga diare setelah menyantap menu MBG. Alarm publik pun berbunyi.

Sebagai bangsa, kita tentu tidak sedang mencari kambing hitam. Sebaliknya, kita tengah berdiri di sebuah persimpangan penting: apakah kita akan membiarkan program ini terseret badai krisis, atau menjadikannya momen pembelajaran nasional untuk memperbaiki sistem keamanan pangan secara menyeluruh? Harus diakui, insiden-insiden ini menyakitkan. Tapi sekaligus membuka ruang untuk evaluasi mendalam.

Dari investigasi yang dilakukan oleh Badan Gizi Nasional (BGN), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), serta sejumlah pakar pangan dan kesehatan masyarakat, penyebab keracunan tidaklah satu. Ini bukan soal satu dapur yang lalai, atau satu jenis makanan yang basi. Ini tentang sistem—dari hulu ke hilir—yang belum sepenuhnya siap menjalankan skema sebesar MBG.

Masalah pertama datang dari kualitas bahan baku. Di beberapa daerah, bahan makanan yang digunakan terbukti mengandung bakteri patogen seperti E. coli dan Salmonella. Artinya, masalah ini sudah dimulai sebelum bahan tersebut menyentuh dapur sekolah. Proses pemilihan, penyimpanan, dan pengiriman bahan mentah belum terstandar dengan baik. Tidak semua pemasok memiliki sertifikasi keamanan pangan, dan pengawasan terhadap kualitas barang masuk belum berjalan ketat.

Setelah bahan masuk dapur, masalah kedua muncul: proses pengolahan. Di Sukoharjo, dapur sempat kehabisan gas, membuat jadwal masak mundur dan makanan didiamkan terlalu lama sebelum diantar. Di Palembang, ikan tongkol yang digunakan ternyata sensitif terhadap peningkatan kadar histamin jika tidak disimpan dengan suhu dan waktu yang tepat. Di beberapa tempat lain, daging dimasak setengah matang karena tekanan waktu. Semua ini memperlihatkan bahwa dapur MBG belum memiliki standar operasi yang seragam dan kokoh.

Belum selesai di situ, distribusi makanan juga menyimpan kerentanan. Di Batang, makanan yang datang tepat waktu justru dikonsumsi terlambat karena menunggu kegiatan seremonial di sekolah. Tanpa alat pendingin, makanan dibiarkan dalam suhu ruang yang tinggi. Dalam situasi seperti ini, pertumbuhan bakteri bisa sangat cepat, bahkan dalam hitungan jam.

Tak kalah penting, penjamah makanan di banyak titik belum memiliki pelatihan atau sertifikasi dalam keamanan pangan. Mereka bekerja dengan niat baik, bahkan semangat pengabdian. Namun di era di mana mikroba bisa jadi pembunuh senyap, semangat saja tidak cukup. Dibutuhkan pengetahuan teknis: suhu ideal, waktu penyajian maksimal, cara mencuci tangan, hingga bagaimana mengenali tanda-tanda awal makanan rusak.

Kita juga harus jujur mengakui bahwa skala program MBG yang begitu besar—mencakup jutaan anak sekolah di seluruh penjuru negeri—belum sepenuhnya ditopang dengan manajemen pangan yang terstandarisasi. Banyak dapur MBG yang hanya memakai pendekatan operasional rumahan. Padahal, mereka sejatinya sedang menjalankan fungsi seperti industri katering skala nasional. Artinya, manajemen stok, rotasi bahan, kontrol suhu, dan pengecekan kualitas harus dijalankan seperti pada sistem dapur profesional. Sayangnya, hal ini belum sepenuhnya terjadi.

Satu lagi yang kerap luput dari perhatian: sistem pengawasan. Banyak dapur berjalan tanpa audit rutin, tanpa inspeksi mendadak, dan tanpa sistem pelaporan standar. Maka ketika ada kesalahan—apakah itu bahan basi, daging tak matang, atau distribusi terlambat—tidak ada sistem yang bisa mendeteksinya secara dini. Semua baru ketahuan ketika korban mulai jatuh sakit. Ini jelas telat.

Namun sekali lagi, ini bukan tentang menyalahkan individu atau lembaga tertentu. Semua pihak, mulai dari petugas dapur, guru sekolah, hingga distributor bahan, bekerja dengan niat baik. Tapi niat baik tidak bisa menggantikan sistem. Justru karena niatnya baik, sistem yang menopangnya harus lebih baik lagi.

Maka di sinilah momen penting itu: belajar dari insiden-insiden ini dan menyusun ulang standar keamanan pangan, bukan hanya untuk MBG tapi untuk semua program makan massal di masa depan. Langkah pertama tentu dengan memperketat pengadaan bahan baku. Pemerintah harus menetapkan standar kualitas yang ketat untuk semua supplier, dan mewajibkan uji laboratorium berkala terhadap bahan makanan. Tidak boleh ada toleransi terhadap produk yang mengandung mikroba atau tidak layak konsumsi.

Bahan pangan yang diproses secara benar adalah salah satu syarat keamanan makanan yang akan disajikan (unsplash)

Langkah kedua adalah membenahi dapur. Setiap dapur MBG harus memiliki fasilitas dasar seperti tempat cuci tangan bersabun, alat masak terpisah untuk bahan mentah dan matang, lemari pendingin, serta SOP ketat mengenai waktu masak dan penyajian. Petugas dapur juga perlu diberi pelatihan dasar tentang sanitasi, waktu masak, dan pengendalian suhu. Pemerintah daerah bisa bekerja sama dengan BPOM atau Dinas Kesehatan untuk menyelenggarakan pelatihan ini secara berkala.

Distribusi makanan juga perlu diatur ulang. Jadwal pengantaran harus dihitung cermat, memperhatikan jarak, suhu, dan waktu konsumsi. Kontainer pengangkut makanan wajib menggunakan bahan insulasi atau pendingin agar suhu makanan tetap terjaga. Sekolah juga harus diberi pemahaman bahwa keterlambatan konsumsi bisa berisiko. Upacara atau acara seremoni tidak boleh menjadi alasan makanan dibiarkan terlalu lama sebelum dimakan.

Yang juga penting adalah kewajiban sertifikasi bagi penjamah makanan. Tidak boleh ada lagi orang yang bekerja di dapur MBG tanpa pelatihan dasar keamanan pangan. Pemerintah bisa menjadikan ini sebagai syarat mutlak bagi kontrak kerja sama dengan pihak ketiga. Bahkan akan lebih baik jika sertifikasi ini menjadi bagian dari pengawasan berbasis aplikasi digital.

Akhirnya, sistem pengawasan harus dibangun secara digital dan terintegrasi. Dapur-dapur MBG bisa diwajibkan mengisi data harian: suhu masak, waktu distribusi, waktu konsumsi, sumber bahan, dan identitas penjamah makanan. Semua data ini dikirim ke dashboard nasional yang bisa dipantau oleh BGN dan BPOM. Dengan sistem seperti ini, pemerintah bisa mendeteksi dapur yang sering telat distribusi, sering memasak di bawah suhu ideal, atau sering menggunakan bahan dari pemasok yang sama. Pola ini bisa jadi alarm dini sebelum insiden terjadi.

Tentu saja semua itu butuh biaya, waktu, dan kerja keras. Tapi jika dibandingkan dengan biaya sosial dan psikologis dari kasus keracunan—dari trauma anak-anak, keresahan orang tua, hingga rusaknya kepercayaan publik—investasi ini jauh lebih murah. Dan yang paling penting: itu adalah investasi jangka panjang untuk generasi masa depan.

Program MBG tetaplah sebuah gagasan yang perlu didukung. Ia lahir dari semangat untuk membebaskan anak-anak Indonesia dari kekurangan gizi. Tapi semangat saja tidak cukup. Harus ada disiplin. Harus ada sistem. Dan harus ada standar baru yang menjadikan keamanan pangan sebagai prioritas utama.

Insiden keracunan bukan akhir dari segalanya. Justru dari sinilah kita bisa mulai memperkuat pondasi. Agar esok, ketika anak-anak kembali membuka kotak makan MBG di sekolah, mereka bisa tersenyum tanpa rasa khawatir. Agar makanan yang disiapkan dengan niat baik benar-benar membawa manfaat, bukan masalah.

Karena setiap piring nasi yang sampai ke tangan anak adalah cerminan bagaimana negara bekerja. Dan anak-anak kita pantas mendapatkan yang terbaik.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *