Edith Razan
Di sebuah sekolah dasar di pedalaman Sumatera Barat, aroma sayur bayam dan telur dadar mengepul dari dapur semi permanen di belakang ruang kelas. Bukan dapur keluarga, bukan pula proyek swasta. Inilah satu dari ribuan dapur kolektif yang kini menjadi denyut baru pelayanan negara: Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Tanpa seremoni mewah, tanpa baliho program pemerintah, namun setiap pagi, ratusan anak menikmati sarapan bergizi—gratis.
Yang menarik, semua ini terjadi sementara Badan Gizi Nasional (BGN), lembaga pelaksana Program Makan Bergizi Gratis (MBG), justru belum membelanjakan banyak dana. Hingga April 2025, dari total pagu APBN sebesar Rp71 triliun, BGN baru menyerap sekitar Rp2,38 triliun. Rendah, bahkan jika dibandingkan dengan kementerian teknis lain. Tapi jangan buru-buru menilai. Sebab, dari dapur-dapur sederhana seperti di Sumatera Barat tadi, tersingkap logika baru pengelolaan negara: gotong-royong sebagai arsitektur fiskal alternatif.
Alih-alih membakar anggaran demi citra instan, BGN memilih langkah yang sepi tapi sistematis. Mereka membangun jaringan sosial dan logistik, bukan hanya dengan uang, tapi dengan kepercayaan dan partisipasi. Dari sinilah cerita ini dimulai—tentang bagaimana negara bisa hadir tanpa gegap gempita, tentang kehati-hatian yang justru mempercepat langkah, dan tentang uang rakyat yang dikelola dengan nalar komunitas, bukan sekadar target serapan.
Anggaran Besar, Serapan Kecil, Hasil Nyata
Data resmi mencatat bahwa serapan anggaran BGN hingga April 2025 hanya mencapai 3,36 persen. Mayoritas dari Rp2,38 triliun tersebut digunakan untuk biaya produksi makanan bergizi. Belanja pegawai? Hanya sekitar Rp386 juta dari total Rp3,5 triliun yang dialokasikan. Bahkan hingga Mei, banyak pegawai struktural BGN termasuk Kepala BGN belum menerima gaji secara penuh karena aturan remunerasi masih menunggu Peraturan Presiden.
Namun di sisi lain, program MBG telah menjangkau 3,5 juta penerima manfaat, tersebar di lebih dari 1.200 titik SPPG di seluruh Indonesia. Capaian ini mengundang rasa penasaran. Bagaimana mungkin lembaga baru dengan serapan anggaran minim mampu menjangkau jutaan orang hanya dalam empat bulan?
Jawabannya terletak pada pola distribusi dan dukungan lintas sektor yang tidak selalu tercermin dalam neraca APBN BGN. Program ini tidak berjalan sendirian. Ia dibangun di atas fondasi gotong-royong antara pemerintah pusat, pemda, masyarakat sipil, UMKM, dan sektor swasta.
Peran Pemda: Tanpa Modal Uang, Tapi Bermodal Wilayah
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian telah menerbitkan surat edaran yang mewajibkan seluruh kepala daerah untuk menyediakan minimal tiga lokasi untuk pembangunan SPPG di wilayahnya. Lahan-lahan tersebut tidak perlu dibeli, cukup dipinjamkan atau dialokasikan dari aset daerah. Model ini menghemat anggaran sekaligus mempercepat pembangunan infrastruktur dasar.
Di beberapa daerah, bahkan fasilitas sekolah yang sebelumnya tak digunakan, difungsikan kembali sebagai dapur komunitas. Kepala desa, camat, hingga kepala sekolah ikut menyingsingkan lengan baju, membantu pengorganisasian tenaga kerja dan distribusi bahan makanan. Sebuah bentuk administrasi partisipatif yang jarang ditemukan dalam proyek negara lainnya.

UMKM Jadi Rantai Pasok Utama
Lebih dari 2.700 UMKM di Kabupaten Bandung tercatat ikut terlibat dalam MBG, dari pengadaan bahan mentah, pengolahan makanan, hingga pengemasan dan pengelolaan limbah. Skema ini menciptakan lapangan kerja baru, memberdayakan ekonomi lokal, serta memperkuat ketahanan pangan mikro.
Alih-alih mengandalkan vendor besar nasional, BGN justru memfokuskan diri pada pemanfaatan potensi lokal. Dengan begitu, uang yang dibelanjakan langsung berputar di komunitas penerima manfaat. Ini bukan hanya soal gizi, tapi juga soal redistribusi ekonomi yang inklusif.
Swasta dan CSR: Negara Tak Sendirian
BGN membuka pintu bagi kolaborasi sektor swasta melalui skema Corporate Social Responsibility (CSR). Beberapa perusahaan besar seperti GoTo telah menyalurkan bantuan dalam bentuk operasional digitalisasi distribusi makanan hingga bantuan dapur lapangan.
Melalui kemitraan ini, teknologi dan logistik swasta dapat mendukung kecepatan dan ketepatan sasaran, terutama di wilayah urban. Sementara itu, perusahaan produsen pangan juga ikut menyumbang pasokan, pelatihan, dan bahkan dukungan keuangan dalam skema matching fund.
Kementerian dan Lembaga Lain Turut Menopang
BGN bukan aktor tunggal dalam MBG. Kemendikbud, Kemenkes, Badan Pangan Nasional, hingga TNI dan Polri ikut terlibat dalam eksekusi dan pengawasan. BPOM, misalnya, dilibatkan untuk melakukan inspeksi mendadak ke titik distribusi makanan, memastikan standar keamanan pangan terjaga.
Di wilayah terpencil, peran aparat menjadi vital, tidak hanya dalam logistik, tapi juga dalam edukasi gizi. Di sinilah koordinasi lintas sektor bekerja secara diam-diam namun efektif.
Skema Pembayaran Bertahap: Perlindungan untuk Penyedia
BGN mengubah sistem pengadaan dari reimburse menjadi advance payment selama 10 hari. Ini memungkinkan penyedia lokal seperti UMKM memiliki kepastian arus kas, tanpa harus meminjam ke bank atau menanggung utang jangka panjang. Setelah 10 hari, mereka mengajukan kembali invoice untuk 10 hari berikutnya.
Skema ini mendorong efisiensi dan akuntabilitas. Jika kinerja tidak baik, pembayaran berikutnya bisa ditunda. Jika laporan administrasi tidak sesuai, proses dapat dihentikan sementara. Model ini membuat belanja publik menjadi dinamis, bertahap, dan dapat dievaluasi secara cepat.
Mengelola Persepsi: Serapan Tak Selalu Ukur Kinerja
Publik terbiasa mengukur keberhasilan kementerian/lembaga dari persentase serapan anggaran. Logika ini masuk akal jika digunakan dalam proyek infrastruktur atau bantuan sosial langsung. Namun dalam program lintas sektor yang berbasis komunitas seperti MBG, ukuran kinerja harus dilihat dari manfaat nyata di lapangan.
Capaian 3,5 juta penerima manfaat bukan sekadar angka. Itu berarti 3,5 juta piring yang diisi setiap hari, 3,5 juta anak yang pergi ke sekolah dengan perut kenyang, dan ratusan ribu rumah tangga yang terbantu secara ekonomi. Jika itu semua bisa terjadi dengan serapan 3 persen anggaran, maka tantangannya justru bagaimana menjaga efisiensi ini tetap konsisten saat anggaran meningkat.
Tantangan: Skala Nasional dan Risiko Politik
BGN menargetkan pembangunan 1.542 SPPG tambahan hingga akhir 2025, dengan estimasi biaya sekitar Rp6 triliun. Semakin besar cakupan, semakin kompleks pula manajemen dan akuntabilitasnya. Risiko politisasi, ketimpangan distribusi, dan manipulasi data bisa saja muncul.
Belum lagi tekanan dari sektor-sektor yang merasa tertinggal. Ketika satu program menjadi sangat menonjol dalam alokasi anggaran, muncul resistensi dari birokrasi lain yang merasa dilangkahi. Di sinilah kepemimpinan BGN diuji: bagaimana menjaga momentum, tanpa kehilangan dukungan struktural.
BGN mengambil risiko reputasi dengan serapan rendah, namun mengedepankan akurasi, partisipasi, dan kebermanfaatan. Mereka tidak terjebak dalam kompetisi simbolik, tapi fokus pada konsolidasi sistem.
Program MBG bisa jadi menjadi contoh baru tata kelola sosial yang kolaboratif, di mana APBN hanya menjadi salah satu alat, bukan satu-satunya penggerak. Ketika warga, pemda, UMKM, swasta, dan negara duduk dalam meja yang sama, maka uang bukan lagi satu-satunya bahasa kebijakan.
Dalam sunyi dapur-dapur sekolah, negara sedang belajar bicara dengan cara baru.