Dari Laterit ke Meja Makan Gratis: Hilirisasi Nikel dan Kebangkitan Industri Ompreng Lokal

Edith Razan

Dalam bayang-bayang proyek ambisius pemerintah untuk menyediakan makanan bergizi gratis bagi jutaan anak sekolah, terselip sebuah kisah industri yang tak kalah menarik. Program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang dirancang untuk menjangkau lebih dari 80 juta penerima manfaat, tidak hanya berdampak pada sektor gizi dan pendidikan, tetapi juga menghidupkan kembali rantai industri manufaktur yang selama ini luput dari sorotan publik: industri ompreng stainless steel. Dari bijih nikel laterit yang digali di tanah Sulawesi hingga peralatan makan yang kini menjadi simbol kampanye pemenuhan gizi, terjadi proses hilirisasi yang menjadi cerminan transformasi ekonomi nasional.

Sejak Indonesia melarang ekspor bijih nikel mentah pada tahun 2020, pemerintah mendorong percepatan industrialisasi berbasis sumber daya alam dalam negeri. Salah satu hasil yang paling mencolok dari kebijakan ini adalah tumbuhnya ekosistem smelter dan manufaktur logam di kawasan Indonesia bagian timur, terutama di Morowali dan Halmahera. Kawasan industri seperti Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) menjadi jantung dari hilirisasi nikel, tempat bijih laterit diolah menjadi feronikel, nikel matte, dan produk antara lainnya, termasuk bahan baku utama stainless steel: nikel pig iron (NPI).

Stainless steel sendiri merupakan logam paduan yang terdiri dari besi, kromium, dan nikel. Di antara berbagai jenisnya, tipe SS 304 adalah yang paling banyak digunakan dalam industri peralatan makan, karena tahan karat, kuat, dan relatif mudah dibentuk. Dalam konteks Program MBG, jutaan ompreng (nampan makan) yang diperlukan untuk mendistribusikan makanan ke sekolah-sekolah menjadi peluang emas bagi industri stainless steel nasional.

Keberadaan PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS) sebagai salah satu produsen utama SS 304 di Indonesia telah memungkinkan produksi logam ini dilakukan secara end-to-end di dalam negeri. Tsingshan memanfaatkan bijih nikel dari tambang-tambang lokal, kemudian memprosesnya menjadi slab, coil, hingga lembaran baja tahan karat yang siap dibentuk menjadi peralatan rumah tangga. Dengan kapasitas produksi mencapai jutaan ton per tahun, pabrik ini tidak hanya memasok pasar dalam negeri tetapi juga mengekspor produknya ke berbagai negara.

Nilai strategis industri ompreng dalam program MBG tidak bisa diremehkan. Data dari Kementerian Perindustrian menunjukkan bahwa pengadaan peralatan makan dan minum dalam program MBG akan melibatkan lebih dari 500 pelaku industri kecil dan menengah (IKM) di berbagai daerah. Artinya, kebutuhan akan produk seperti ompreng tidak hanya memicu aktivitas di sektor hulu (pertambangan dan smelting), tetapi juga menciptakan efek berganda di sektor hilir, terutama dalam hal penyerapan tenaga kerja dan pemberdayaan usaha lokal.

Dari sisi nilai tambah, transformasi bijih nikel menjadi ompreng menggambarkan kisah sukses hilirisasi mineral. Jika bijih nikel mentah hanya dihargai sekitar USD 35 per ton, maka produk akhir berupa cold-rolled stainless steel bisa mencapai USD 1.800–2.000 per ton. Bila dihitung, setiap ompreng berbobot sekitar 0,3 kg, maka nilai bahan baku stainless-nya hanya sekitar USD 0,56. Namun, di pasaran, ompreng SS 304 bisa dijual hingga Rp 50.000 per unit (sekitar USD 3,3), menunjukkan adanya nilai tambah hingga 83 persen. Ini belum termasuk multiplier effect dari logistik, distribusi, hingga usaha cuci-sewa ompreng di sekolah-sekolah.

Pemerintah juga menyadari potensi strategis ini. Dalam beberapa kesempatan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi menekankan pentingnya integrasi antara sektor industri dan kebijakan sosial. Program MBG dinilai bukan hanya soal intervensi pangan, tetapi juga momentum bagi industrialisasi nasional. Dengan menjadikan peralatan makan sebagai bagian dari belanja strategis negara, Indonesia berhasil menciptakan permintaan domestik yang stabil bagi sektor manufaktur logam ringan dan produk konsumer stainless.

Lebih dari itu, kebangkitan industri ompreng juga menunjukkan pentingnya desain kebijakan publik yang terintegrasi. Hilirisasi tidak akan berhasil tanpa pasar. Sementara itu, program sosial seperti MBG tidak akan berkelanjutan jika bergantung pada impor. Dengan menyatukan keduanya, pemerintah menciptakan skema win-win: industri dalam negeri hidup, anak-anak sekolah mendapatkan manfaat, dan perekonomian lokal bergerak.

Tak dapat dipungkiri, perjalanan dari tambang nikel ke meja makan sekolah membutuhkan infrastruktur dan investasi yang tidak kecil. Smelter yang dibangun oleh Tsingshan dan mitra-mitranya menelan biaya miliaran dolar, dengan teknologi yang canggih dan tenaga kerja yang besar. Namun, dalam konteks keberlanjutan dan ketahanan ekonomi, ini adalah investasi yang berharga. Sebab, dibandingkan mengekspor bijih mentah dan mengimpor peralatan makan, membangun rantai produksi di dalam negeri jauh lebih menguntungkan secara jangka panjang.

Salah satu aspek menarik dari industrialisasi ompreng adalah munculnya backward dan forward linkage yang kuat. Di sisi backward, pabrik-pabrik seperti Tsingshan bergantung pada tambang lokal, pelabuhan khusus, dan pasokan energi (PLTU atau smelter energi terbarukan) untuk mendukung proses produksi. Ini menciptakan kebutuhan akan logistik, konstruksi, dan teknologi industri lainnya. Di sisi forward, hasil produksinya mendorong tumbuhnya sektor hilir seperti manufaktur alat rumah tangga, industri pengemasan makanan, dan jasa distribusi logistik sekolah.

Contoh yang menonjol bisa dilihat di beberapa daerah sentra produksi ompreng seperti Sidoarjo, Bekasi, dan Bandung. Banyak IKM yang sebelumnya memproduksi peralatan rumah tangga secara kecil-kecilan kini mulai mengalihkan kapasitas produksinya untuk memenuhi permintaan MBG. Pemerintah pusat melalui Kementerian Perindustrian dan lembaga keuangan milik negara menyediakan pembiayaan murah, pelatihan teknis, dan fasilitasi standardisasi agar produk-produk lokal bisa memenuhi syarat higienitas dan ketahanan.

Pergeseran ini juga berdampak pada struktur tenaga kerja. Para pengrajin logam yang semula mengandalkan keterampilan turun-temurun kini mendapat pelatihan dalam desain produk, pemrosesan baja tahan karat, hingga teknik laser cutting dan stamping. Hal ini meningkatkan kualitas SDM di sektor manufaktur dan mempercepat alih teknologi ke pelaku usaha kecil.

Tidak hanya itu, kebangkitan industri ompreng lokal membuka peluang bagi ekspor non-tradisional. Produk seperti nampan stainless, gelas logam, dan peralatan dapur berbasis SS 304 kini mulai dilirik oleh pasar-pasar di Asia Tenggara, Afrika, dan Timur Tengah yang memerlukan produk murah namun tahan lama. Beberapa IKM yang berhasil memenuhi standar nasional bahkan mulai mengikuti pameran dagang internasional untuk memperluas jejaring pasarnya.

Namun demikian, tantangan tetap ada. Salah satunya adalah ketergantungan pada harga global logam, terutama nikel dan kromium. Fluktuasi harga bahan baku dapat memengaruhi struktur biaya produksi stainless steel. Selain itu, masih ada celah dalam hal sertifikasi mutu, efisiensi produksi, dan distribusi di sektor IKM yang perlu diperkuat melalui pendampingan dan standardisasi berkelanjutan.

Isu lain adalah keberlanjutan lingkungan dari industri hilir nikel. Meski ompreng tahan lama dan bisa digunakan berulang kali (reuse) (sehingga lebih ramah lingkungan dibandingkan plastik), proses produksi nikel dan stainless tetap meninggalkan jejak karbon yang signifikan. Oleh karena itu, pemerintah perlu mendorong praktik industri hijau di sektor smelter, misalnya dengan mendorong penggunaan energi terbarukan di kawasan industri seperti Morowali atau Weda Bay.

Lebih lanjut, agar momentum industrialisasi ompreng tidak bersifat temporer, perlu strategi diversifikasi produk dan jaminan kesinambungan permintaan. Jika MBG hanya berlangsung beberapa tahun, maka industri yang telah berkembang tidak boleh dibiarkan stagnan. Oleh karena itu, pemerintah perlu mendorong penetrasi produk stainless dalam sektor lain—seperti rumah sakit, asrama TNI/Polri, hingga program bantuan pangan internasional.

Kisah ompreng dalam skema besar hilirisasi nikel dan kebijakan makan gratis menunjukkan bagaimana sebuah produk sederhana dapat menjadi simbol transformasi industri nasional. Dari tanah laterit di pedalaman Sulawesi hingga ruang makan anak-anak sekolah, terdapat serangkaian proses, pelaku, dan kebijakan yang bekerja dalam harmoni. Jika diurus dengan tepat, ini bisa menjadi cetak biru bagi industrialisasi berbasis sumber daya yang inklusif, berkelanjutan, dan berdampak nyata bagi masyarakat luas.

Dengan kata lain, ompreng bukan lagi sekadar wadah makan. Ia adalah artefak kebijakan—produk dari visi negara yang tak hanya ingin memberi makan rakyatnya, tetapi juga memberdayakan industrinya sendiri.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *