Fidela Almeira
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) sejatinya menyimpan potensi strategis yang jauh melampaui sekadar penyediaan jajanan sehat di kantin sekolah. Jika dirancang sebagai off-taker utama susu lokal—pembeli yang menjamin penyerapan produk peternak dalam negeri—MBG bisa menjadi pendorong kebangkitan industri sapi perah di tanah air. Selama ini, produksi susu domestik baru mampu memenuhi sebagian kecil kebutuhan nasional, sementara sisanya masih ditutup oleh impor bubuk dan produk olahan. Padahal, susu sapi adalah sumber kalsium dan protein hewani yang sangat penting bagi tumbuh kembang anak usia sekolah.
Dengan menempatkan MBG sebagai pembeli langsung susu cair segar dari kelompok peternak dan koperasi lokal, pemerintah daerah menyerahkan pengadaan kepada Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di sekitar peternakan sapi perah. Alih-alih melalui Dinas Pendidikan atau Dinas Kesehatan, kontrak penjualan susu ditandatangani langsung antara SPPG dan peternak skala kecil. Model ini membuat SPPG yang mengelola dapur umum dan distribusi menu bergizi di sekolah-sekolah setempat menjadi jaminan pasar, sekaligus mendorong peternak meningkatkan manajemen kandang dan mutu produk agar sesuai standar kebersihan serta gizi.
Bagi peternak, jaminan kontrak off-taker membawa efek domino positif. Mereka tak lagi resah memasarkan produknya, sehingga berani menginvestasikan kembali modal untuk memperbaiki genetika sapi, meningkatkan pola pakan, dan menerapkan praktik sanitasi yang lebih baik. Alhasil, produktivitas per ekor sapi pun meningkat, menciptakan tambahan pendapatan yang membuat usaha peternakan lebih berkelanjutan. Ketika pendapatan stabil, koperasi dan kelompok peternak juga semakin kredibel dalam mengakses pembiayaan mikro, membuka akses ke ribuan peternak baru untuk bergabung dalam ekosistem yang lebih sehat.
Dampak ekonomi yang dihasilkan tidak berhenti pada peternak. Karena pakan sapi biasanya dibeli dari petani jagung setempat dan tenaga kerja kandang direkrut dari warga desa, hadirnya off-taker MBG turut menggerakkan ekonomi lokal. Warung makan, toko pakan, bengkel, dan usaha kecil lain mendapatkan tambahan permintaan. Efek multiplikator inilah yang vital untuk mengentaskan kemiskinan di wilayah sentra peternakan dan memperkuat ketahanan pangan komunitas desa.
Sebagai contoh konkrit, koperasi terbesar di Belanda, FrieslandCampina, telah mengumumkan rencana investasi di Indonesia berupa pembangunan 30 hingga 40 peternakan sapi perah percontohan. Masing-masing peternakan akan memelihara sekitar 30 ekor sapi, dengan biaya investasi sekitar USD 100.000 (setara lebih dari Rp 1,6 miliar) per unit. Inisiatif ini tidak hanya menyediakan model usaha bagi peternak lokal, tetapi juga membawa teknologi dan praktik peternakan modern—mulai dari sistem pakan terukur hingga manajemen kesehatan hewan—yang dapat diadopsi oleh peternak skala kecil di berbagai wilayah.
Namun, perjalanan skema ini tidak tanpa hambatan. Infrastruktur cold chain—jaringan pendinginan yang memastikan susu cair tetap aman dikonsumsi—masih minim di banyak daerah, terutama di luar Pulau Jawa. Tanpa fasilitas cold storage dan armada distribusi berpendingin, SPPG berisiko menerima susu yang kualitasnya menurun sebelum sampai ke dapur umum. Pemerintah perlu menggandeng BUMN logistik dan sektor swasta untuk membangun jaringan pendingin di tingkat kabupaten, sehingga rantai pasok susu lokal benar-benar terjaga dari peternakan hingga kantin sekolah.
Keberhasilan rintisan off-taker MBG sudah terlihat di sejumlah daerah. Di salah satu kabupaten di Jawa Barat, SPPG setempat menggandeng koperasi peternak untuk memasok ratusan ribu liter susu setiap bulannya ke dapur umum sekolah. Hasilnya, banyak anak dilaporkan menunjukkan peningkatan nafsu makan dan stamina, sementara koperasi meraih stabilitas omzet yang memadai untuk berkembang. Keberhasilan ini menjadi contoh bagi kabupaten-kabupaten tetangga yang ingin mereplikasi model off-taker serupa.
Agar skema off-taker MBG benar-benar berkelanjutan, sinergi lintas pemangku kepentingan mutlak dibangun. Pemerintah pusat dapat menyediakan insentif pajak dan subsidi pakan, sementara universitas dan lembaga riset pertanian mengembangkan pakan alternatif dan teknologi peternakan berkelanjutan. Di sisi lain, perusahaan susu besar dan start-up agritech dapat menghadirkan platform digital untuk mempermudah pemesanan, pelacakan distribusi, serta monitoring mutu produk secara real time. Lebih jauh, program pendidikan gizi harus diintegrasikan ke dalam kurikulum sekolah agar anak-anak tidak hanya menerima susu, tetapi juga memahami manfaat gizinya.
Menjadikan MBG sebagai off-taker susu lokal bukan hanya soal memenuhi kebutuhan gizi anak sekolah. Ini adalah strategi holistik untuk membangun industri sapi perah yang mandiri, meningkatkan kesejahteraan peternak, dan menggerakkan ekonomi desa. Dengan contoh investasi FrieslandCampina sebagai acuan, serta komitmen bersama antara pemerintah, swasta, lembaga riset, dan masyarakat, Indonesia berpeluang memenuhi kebutuhan susu domestik sepenuhnya, bahkan menembus pasar ekspor regional dalam beberapa tahun mendatang.