Empat Negara, Empat Meja Sekolah Berbeda

Edhy Aruman

Makanan sekolah bukan sekadar soal nutrisi, tetapi juga tentang bagaimana sebuah negara memaknai tanggung jawab terhadap masa depan generasi mudanya.

Di Finlandia, makanan sekolah gratis telah menjadi bagian dari sistem kesejahteraan sosial sejak tahun 1948. Semua siswa dari sekolah dasar hingga menengah atas menerima satu kali makan bergizi setiap hari sekolah, yang disiapkan berdasarkan model piring gizi seimbang.

Program ini tidak hanya menjamin kecukupan gizi, tetapi juga membentuk kebiasaan makan sehat, memperkuat nilai kesetaraan, dan mendukung keberhasilan akademik (National Nutrition Council, 2005; Lintukangas et al., 2007).

Sebaliknya, di Jepang, makanan sekolah juga sangat terintegrasi ke dalam kehidupan pendidikan, namun tidak sepenuhnya gratis. Orang tua membayar sebagian biaya makan, namun makanan yang disajikan dikontrol ketat oleh ahli gizi dan disiapkan di sekolah.

Siswa bertanggung jawab untuk menyajikan makanan kepada teman-temannya dan membersihkan ruang makan.

Tradisi ini tidak hanya memperkuat pendidikan gizi melalui pendekatan “shokuiku” (edukasi makanan), tetapi juga membangun rasa hormat terhadap makanan, kedisiplinan, dan tanggung jawab sosial (Otsuka, 2011; Nishida et al., 2017).

Di Amerika Serikat, sistem makanan sekolah beroperasi dalam kerangka subsidi, khususnya bagi keluarga berpenghasilan rendah melalui program National School Lunch Program (NSLP).

Meski banyak anak yang menerima makanan secara gratis atau dengan harga yang disubsidi, kebijakan ini sering menghadapi kritik mengenai kualitas gizi, kesenjangan akses, dan stigma terhadap siswa penerima bantuan (USDA, 2021).

Selain itu, sistem ini lebih bergantung pada insentif ekonomi ketimbang filosofi kesetaraan universal seperti di Finlandia.

Sementara itu, Korea Selatan telah berkembang pesat dalam beberapa dekade terakhir dalam penyediaan makanan sekolah. Sejak tahun 2000-an, pemerintah lokal mulai mengadopsi sistem makan siang gratis di sekolah-sekolah negeri secara bertahap.

Kini, sebagian besar wilayah menyediakan makanan gratis yang bergizi dan dimasak segar, mengikuti pedoman diet nasional. Menunya mencerminkan kekayaan budaya pangan Korea dan menekankan pentingnya gizi seimbang serta pelestarian makanan tradisional (Kim & Lee, 2015; Korean Ministry of Education, 2022).

Uniknya, seperti di Jepang, makan siang juga dianggap bagian dari kurikulum karakter dan pendidikan gizi.

Perbandingan ini menunjukkan bahwa sementara tujuan utama dari program makanan sekolah — yakni memastikan anak-anak tidak lapar dan dapat belajar dengan baik — mungkin sama, pendekatan, struktur kebijakan, dan nilai yang mendasarinya sangat beragam.

Finlandia mewakili model kesejahteraan universal yang menghapus batasan sosial melalui kesetaraan akses. Jepang dan Korea Selatan menekankan nilai budaya, kedisiplinan, dan tanggung jawab sosial. Amerika Serikat lebih berorientasi pada pendekatan bantuan yang ditargetkan dengan tantangan besar pada kualitas dan distribusi.

Masing-masing sistem menawarkan pelajaran berharga tentang bagaimana makanan dapat menjadi jembatan antara gizi, pendidikan, dan nilai sosial yang lebih luas.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *