Ngidam Makanan

Edhy Aruman

Di sudut lapangan sekolah, seorang anak laki-laki berdiri diam. Ia tidak sedang bermain. Ia tidak tertawa. Ia tidak mengantre bersama teman-temannya yang sudah lebih dulu berdiri di barisan makan siang gratis.

Ia hanya menunggu.

Tangannya menggenggam ujung bajunya sendiri, menunduk, diam. Tidak ada ibu yang mendampingi. Tidak ada suara dewasa yang menyemangati. Mungkin ibunya sedang bekerja. Mungkin terlalu capek untuk berdiri di barisan. Atau mungkin… dunia ini memang tidak selalu menyediakan tangan pendamping bagi setiap anak yang lapar.

Tapi anak ini menunggu. Bukan karena dia tahu pasti bahwa sepiring makan bergizi akan datang, tapi karena ia percaya. Dan di dalam kepercayaannya itu, tersembunyi sesuatu yang lebih dari lapar. Ia sedang mengidam.

Bukan cokelat. Bukan makanan mahal. Bukan kemewahan yang kita sering asosiasikan dengan kata “craving“. Yang ia idamkan adalah sepiring nasi hangat, sayur bersih, lauk sederhana. Ia mengidam perasaan aman saat makan, tanpa merasa menjadi beban. Ia mengidam momen ketika makanan datang bukan sebagai belas kasih, tapi sebagai hak.

Psikologi modern menjelaskan bahwa mengidam adalah refleksi dari kebutuhan—emosional, biologis, atau keduanya. Saat stres atau rasa tidak aman membayangi, tubuh dan otak kita memanggil makanan yang memberi rasa nyaman.

Itulah sebabnya makanan tinggi lemak dan karbohidrat seperti cokelat begitu menenangkan. Bukan karena zat ajaib di dalamnya, tapi karena rasa dan tekstur itu mengobati luka yang tak terlihat.

Tapi bagaimana jika dunia tak menyediakan bahkan sekadar dasar untuk merasa nyaman? Bagaimana jika mengidam makanan bergizi saja sudah terlalu mewah?

Program makan bergizi gratis hadir seperti fajar untuk malam panjang. Ia bukan hanya menyuapi perut, tapi menyelamatkan harga diri. Ia membisikkan pada anak itu, “Kamu layak. Kamu penting. Kamu tidak dilupakan.”

Dan saat ia akhirnya mendapat sepiring makanan itu—meskipun tanpa antre, tanpa bimbingan tangan orang tua—ia bukan sekadar mengisi perut. Ia sedang menyentuh kembali kemanusiaannya.

Mungkin kita yang melihat dari jauh hanya melihat piring berisi nasi, telur, dan sayur. Tapi bagi anak itu, piring itu adalah dunia. Ia adalah pengakuan, ia adalah pelukan, ia adalah suara yang selama ini ia tunggu: suara yang mengatakan bahwa mengidam bukan hanya milik mereka yang berlimpah, tapi juga mereka yang bertahan.

Karena pada akhirnya, ketika rasa menuntun jiwa, bukan hanya lidah yang mencari cita, tetapi hati yang mencari tempat untuk merasa cukup, dan dunia yang memberi ruang untuk itu.

RUJUKAN:
Splane, E. C., Rowland, N. E., & Mitra, A. (2025). Psychology of Eating: From Biology to Culture to Policy (3rd ed.). Routledge. https://doi.org/10.4324/9781032621401

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *